Istilah sunnah secara umum dimaknai sebagai tradisi (tradition). Hanya saja, sekian lama ini istilah tersebut sepertinya semata-mata terkait dengan tradisi kenabian Muhammad SAW (sirah nabawiah).
Sehingga, konotasinya menjadi tunggal dan terkesan terbatas, yakni apa
saja yang terkait dengan praktik Nabi selama hidupnya, baik mencakup
ucapan, tindakan, sikap, dan seterusnya. Maka ketika kita menyebut
sunnah, berarti maksudnya sunnah Nabi. Ketika ada ungkapan bahwa sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an adalah sunnah, maka yang dimaksud sunnah
itu adalah praktik Nabi.
Kita jarang, atau malah tak pernah,
misalnya, mengaitkan kata sunnah dengan Allah, walaupun kita tahu dalam
tradisi keislaman ada istilah sunnatullah (sunnah Allah).
Bahkan jika mau lebih cermat, sesungguhnya jika kita kembali ke akar
etimologisnya, dan didukung pula oleh sejumlah hadis Nabi sendiri,
sunnah itu sejatinya tidak hanya terbatas pada Nabi saja, tetapi juga
pada umatnya. Namun, karena kita tidak mencermatinya, tidak
menghampirkan pemahaman kita ke sana, serta dibutakan oleh pembatasan
pada diri Nabi saja (sunnah nabawiah), maka tak pernah kita mengaitkan
istilah sunnah itu dengan umat. Sunnah ya hanya terbatas pada
Nabi saja, sudah, titik. Sunnah di luar itu (baca: sunnah Nabi) tidak
penting, karena tidak populer, serta tidak otoritatif untuk dijadikan
landasan etik dan hukum.
Definisi
Sunnah, secara kebahasaan (etimologis) berasal dari kata sanna-yasunnu, yang berarti “berjalan” (sirah). Pengertian ini mungkin dikaitkan dengan definisi lain, bahwa sanna al-thariqah itu sama artinya sanna fiha, artinya meniti jalan (al-thariqah). Oleh karena itulah, lazim dipahami bahwa bentuk mashdar atau kata dasar sunnah itu mengandung arti “jalan (thariqah), cara, tradisi, sirah, tabiat, juga syariat” (lihat: kamus al-Munjid, hlm 353). Kalangan sufi secara gamblang memaknai sunnah sebagai thariqah atau jalan (lihat: Abd al-Mun’im al-Hafani, al-Mawsu’ah al-Shufiyyah, hlm 800). Tentu saja, yang mereka maksud adalah jalan ruhani. Mereka memahami bahwa tarekat (dari kata: thariqah)
adalah jalan ruhani (spiritual) yang mata rantainya bersambung melalui
para guru spiritual (mursyid) hingga akhirnya ke Nabi. Oleh karena itu,
bagi kaum sufi, kaum tarekat, mengikuti tarekat sesungguhnya sama saja
mengikuti sunnah Nabi.
Yang menarik, jika menilik kamus, kita mendapati bahwa kata kerja sanna-yasunnu (yang menderivasi kata sunnah
itu) bisa juga memiliki arti memulai, menginisiasi, memrakarsasi,
membidani suatu hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Kalimat sanna fulan thariqan min al-birr, sebagai misal, mengandung makna ibtada’a amran min al-birr lam ya’rifhu qaumuhu, “si Polan memulai suatu perkara atau praktik kebaikan yang tidak pernah diketahui kaumnya sebelum itu” (lihat: al-Munjid, idem). Sampai di sini, dalam pengertian keagamaan, sanna-yasunnu bisa sama artinya dengan ibtada’a-yabtadi’u, “mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama”, sehingga kata benda sunnah bisa bermakna bid’ah (heretik).
Sunnatullah
Kita umumnya selama ini memaknai istilah sunnatullah
(sunnah Allah) secara tunggal dan klise, yakni hukum alam. Yang
dimaksud dengan hukum alam di sini adalah karakter-karakter tertentu
alam semesta beserta isinya yang bersifat baku, pasti, dan tidak bisa
diubah-ubah (QS al-Isra’: 77; QS al-Fathir: 43). Misalnya, alam semesta
kita beserta isinya memiliki karakter berpasang-pasangan: siang-malam,
jantan-betina, baik-buruk, besar-kecil, dst, itu semua kita katakan
merupakan sunatullah.
Ada sekitar 10 ayat al-Qur’an yang berbicara
tentang sunatullah, dan kita mendapati suatu wawasan bahwa ia selalu
dikaitkan dengan hukum sebab-akibat (kausalitas). Orang-orang yang
berbuat kebajikan akan mendapat kemenangan. Sebaliknya, para pendosa
akan ditimpa derita dan sengsara, bahkan kehancuran, dari Tuhan.
Dinyatakan, bahwa itulah hukum sebab-akibat yang pasti terjadi, tidak
bisa diubah-ubah, dan merupakan sunatullah. Contoh ayat yang
mengindikasikan wawasan ini antara lain QS Ali Imran: 137, “Telah
berlalu sunnah-sunnah Allah kepada orang-orang sebelum kalian, maka
berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana akibat yang
terjadi pada orang-orang yang berbuat aniaya.”
Namun demikian, jika menilik aspek etimologis dalam definisi di atas, bahwa sunnah itu bisa bermakna jalan, cara (thariqah),
syariat (secara bahasa berarti: jalan)—hal mana mengonotasi pada
wawasan yang bersifat teknis, maka, hemat saya, sunnatullah itu tidak
cukup dimaknai sebagai hukum alam (kausalitas), melainkan semacam
ketentuan atau ketetapan yang Allah peruntukkan bagi alam semesta
beserta seluruh isinya (termasuk manusia) yang khas, tertentu, sesuai
dengan karakter, tabiat, juga kondisi ruang dan waktu.
Oleh karena
itu, ketika Allah, misalnya, menetapkan suatu syariat kepada seorang
nabi dan kaumnya, dan di ruang dan waktu lain Allah menentukan syariat
yang berbeda kepada nabi dan umat yang lain, hemat saya itu juga
merupakan sunnatullah. Ketetapan seperti ini tidak bisa dibalik,
misalnya syariat untuk kaum Nabi Nuh As diterapkan untuk kaum Nabi Musa
As, atau sebaliknya. Secara natural (baca: hukum alam), skema “tukar
posisi” jelas akan rancu dan timpang, sebab karakter atau tabiat antara
satu umat dengan umat lain tentu berbeda.
Sampai di sini, maka
dalam konteks keislaman, apa yang juga bisa dikategorikan sebagai
sunatullah adalah ketentuan-ketentuan Allah di dalam al-Qur’an yang
dicanangkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan, seperti
cara menangani kriminalitas, cara berbisnis, berpolitik, berperang,
membagi warisan, menikah, dan bidang-bidang hidup bermasyarakat lainnya
(keduniaan, muamalat). Wacana yang ditawarkan al-Qur’an dalam
bidang-bidang tersebut bersifat khas, mencirikan kecenderungan
sosial-budaya tertentu, dan tentu saja terkait dengan ruang dan waktu
ketika kitab suci itu turun. Satu misal kecil saja, dalam wawasan
al-Qur’an, perbudakan dan hukuman mati (kisas, rajam, pancung) secara
terang-benderang diakomodasi. Ini dengan kata lain, Tuhan mengamini
tradisi perbudakan dan hukuman mati. Namun, hal tersebut tentu masuk
akal, bukan merupakan keanehan, karena kondisi masyarakat kala itu yang
tribalistik, tradisional, nomaden, dan gemar berperang, memang masih
memungkinkan berkembangnya tradisi perbudakan.
Sunnah Nabi
Kita
semua hampir sepakat ihwal definisi tentang sunnah Nabi, yang lazim
juga disebut sunnah Rasul ini. Yakni, apa saja yang tercakup dalam
praktik Muhammad, baik itu ucapan, tindakan, ataupun sikap. Ulama masih
berdebat serius, tentang apakah praktik Muhammad itu selalu dalam
bimbingan Tuhan sehingga bersifat maksum, terbebas dari kesalahan (wama yanthiqu ‘an al-hawa, in huwa illa wahyun yuha), ataukah sebaliknya: terkait dengan kecenderungan pribadinya sehingga ada potensi salah atau keliru.
Hal yang prinsipal dari sunnah Nabi ini, bahwa ia merupakan tafsir (tafsir, tafshil) ataupun penjelasan (bayan)
atas al-Qur’an. Ungkapan al-Qur’an yang bercorak umum, diekstraksikan
oleh sunnah Nabi, lalu diperinci dan diperjelas. Pernyataan al-Qur’an
yang masih abstrak, akan ditafsirkan oleh sunnah Nabi, sehingga menjadi
jelas. Dalam posisi ini, sunnah Nabi sangat sejalan dengan konsep sunnah
sebagai “tradisi yang baru”. Disebutkan dalam definisi di atas, salah
satu pengertian sanna-yasunnu (yang menderivasi kata sunnah), yakni ibtada’a amran min al-birr lam ya’rifhu qaumuhu, “memulai suatu perkara/praktik kebaikan yang tidak ada sebelumnya”.
Dalam
posisinya sebagai penjelasan/tafsir atas al-Qur’an, sunnah Muhammad
adalah “sesuatu yang baru”, yang sebelumnya tidak dikenal oleh kaum
Muslim kala itu, karena memang tidak termaktub di dalam al-Qur’an.
Muhammad mengintrodusirnya, karena dialah sesatu manusia yang dianggap
paling mampu memahami maksud al-Qur’an, disebabkan posisinya sebagai “al-Mushthafa”,
yang terpilih untuk menerima wahyu Tuhan di antara sekian manusia.
Misalnya, al-Qur’an memerintahkan tentang salat, tanpa memaparkan ihwal
tata-cara (kaifiyyah)-nya. Muhammad, melalui sunnahnya,
menjelaskan dan mencontohkan tata-caranya secara detil. Lagi, al-Qur’an
menitahkan zakat lengkap dengan amwal zakawi (jenis hartanya) dan mustahiq (yang berhak atasnya), tetapi tidak ada keterangan tentang miqdar
(besaran zakatnya). Melalui sunnahnya, Muhammad menjelaskan tentang
besaran atau kadar yang harus dikeluarkan dari harta-harta wajib zakat (amwal zakawi).
Pada
beberapa kasus, ada juga sunnah-sunnah Nabi yang tidak ada kaitannya
dengan al-Qur’an. Artinya, sunnah-sunnah tersebut tidak dalam kapasitas
sebagai penjelas atau penafsir al-Qur’an, melainkan merupakan praktik
Nabi secara mandiri dalam merespons realitas keseharian di masyarakat.
Ini mungkin lebih dekat ke pengertian sunnah sebagai cara atau jalan (thariqah),
yang lebih banyak didasarkan pada kecenderungan pribadi Nabi sendiri,
yang bisa saja merupakan sebuah ijtihad manusiawi beliau (lepas dari
petunjuk Tuhan), atau bisa juga mengadaptasi pada tradisi yang hidup (living tradition)
kala itu. Meski begitu, dalam konteks keislaman, praktik seperti ini
pun otoritatif, karena Nabi diyakini sebagai teladan utama (QS al-Ahzab:
21), berakhlak mulia (QS al-Qalam: 4), dan menaatinya sama artinya
dengan menaati Tuhan (QS al-Nisa’: 80).
Sunnah Umat
Dalam main-stream
yang berkembang selama berabad lamanya, dinyatakan bahwa Sunnah
Allah—yang termanifestasi dalam al-Qur’an—dan Sunnah Nabi itu merupakan
rujukan nilai moral-etik yang paling otoritatif. Argumen dasarnya, bahwa
apa yang tertuang dalam al-Qur’an pastilah bersifat paripurna, karena
berasal dari Tuhan. Selain itu, bahwa posisi Sunnah Nabi juga hampir
sama kuatnya dengan Sunnah Allah, karena ia merupakan tafsir atas
ketetapan-ketetapan al-Qur’an itu sendiri (bahkan ada sebagian kalangan
konservatif yang memposisikan sunnah Nabi sebagai sesuatu yang ilahiah,
karena meyakini bahwa segala sikap dan perilaku Nabi dalam bimbingan
Tuhan alias maksum). Kedudukan keduanya sebagai rujukan utama ini
diyakini oleh kaum konservatif dari masa ke masa, yang intinya berkisar
pada klausul utama bahwa: pertama, kebenaran tertinggi itu
bersumber pada keduanya, di luar keduanya adalah tidak penting, atau
bisa jadi malah bidah (heretik) dan sesat; kedua, posisi
keduanya yang sedemikian itu bersifat lintas ruang dan waktu, alias
mutlak. Ada sejumlah ayat al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi yang dalam
pemahaman subyektif mereka mendukung pandangan seperti itu.
Padahal,
kalau kita mengkaji dengan pendekatan Sunnah Nabi (hadis) sendiri,
serta mendasarkan pada aspek etimologis (akar bahasa), sesungguhnya
sangat naif kalau dikatakan sumber kebenaran tertinggi hanya keduanya
(kebenaran lainnya hanya sub-ordinat), apalagi sampai memutlakkan
sehingga di luar keduanya dianggap bidah dan sesat. Sebab, kembali ke
tesis saya dalam poin definisi di atas, bahwa sunnah (apa pun, sunnah
Nabi, bahkan sunnah Allah sekalipun) itu bersifat khas, mencirikan
kecenderungan sosial-budaya tertentu—karena terkait dengan kondisi ruang
dan waktu (nisbi). Sunnah adalah produk budaya (muntaj tsaqafiy),
karena ia lahir tidak dalam ruang dan waktu yang hampa sejarah;
sebaliknya, merupakan hasil dari negosiasi antara nilai-nilai ideal
(ilahiah, nabawiah) dengan dinamika sosial di masyarakat. Secara
normatif, ia memiliki titik tolak dan tujuan (maqashid), yakni kemaslahatan manusia (mashlahah),
karena Allah menurunkan agama-Nya (Islam), menetapkan
sunnah-sunnah-Nya, di dunia tidak lain demi kebaikan semesta. Begitu
pula spirit sunnah-sunnah Muhammad, sang nabi, tidak lain adalah
kemaslahatan manusia, karena ia diutus sebagai rahmatan lil-‘alamin (QS al-Anbiya’: 107).
Hemat
saya, spirit yang terkandung di balik sunnah Tuhan maupun sunnah
Muhammad inilah, yakni cita maslahat, yang bersifat mutlak dan absolut.
Nilai maslahat, yang menjadi titik tolak sekaligus tujuan (maqashid )
daripada sunnah, itulah yang universal, yang menembus sekat-sekat ruang
dan waktu. Sehingga sampai kapan dan di mana pun, cita atau nilai
maslahat inilah yang menjadi tolok ukurnya. Baik sunnah Tuhan, sunnah
Nabi, maupun sunnah umat (manusia), semuanya berposisi sebagai
sub-ordinat terhadap cita maslahat ini. Ketiga-tiganya memiliki karakter
sama, yakni nisbi dan terbatas, karena konstruksinya sangat terkait
dengan kondisi waktu dan tempat tertentu.
Maka, klausul yang tepat
mustinya adalah: sunnah Tuhan, sunnah Nabi, itu bisa berlaku atau
aplikatif dalam kehidupan umat sepanjang masih dapat memenuhi tuntutan
kemaslahatan manusia. Manakala kedua sunnah utama itu tidak lagi bisa
memenuhinya, maka kita bisa saja beralih ke yang lain, yakni (dalam hal
ini) sunnah umat, jika dirasa atau patut diduga lebih memenuhi tuntutan
maslahat. Kita di sini bisa mengambil beberapa kasus, misalnya poligami,
hukum waris, dan kesaksian perempuan, yang dicanangkan oleh al-Qur’an
(baca: sunnah Tuhan). Empat belas abad yang lalu, di tanah Arab yang
diselimuti tradisi tribal yang patriarkis, ketentuan-ketentuan Tuhan itu
semua bisa diaplikasikan, karena masih memenuhi tuntutan kemaslahatan
masyarakat. Untuk konteks sekarang, ketentuan seperti itu bisa saja
diabaikan jika dirasa tidak sejalan dengan tuntutan maslahat, dan kita
bisa berpaling pada ketentuan lain yang lebih menawarkan maslahat, lebih
memenuhi rasa keadilan dan kesetaraan, meskipun merupakan konstruksi
pemikiran manusia modern (sunnah umat). Dari sunnah Nabi, kita bisa
mengambil ajaran pernikahan dini (under-age marriage) sebagai
contoh kasus. Untuk konteks dakwah Nabi kala itu, di mana masyarakatnya
masih tribalistik, menikahi anak di bawah umur menjadi hal yang lumrah.
Dengan kata lain, budaya semacam itu masih kompatibel dengan tuntutan
maslahat umat waktu itu. Pelakunya tidak akan disebut pedofil.
Sebaliknya, di alam modern seperti sekarang, di mana dalam konstruksi
pemikiran kontemporer (baca: sunnah manusia) isu kesehatan reproduksi
merupakan arus utama yang menjadi konsern dunia global, tentu tidak pada
tempatnya kita mengikuti secara saklek tradisi tersebut (Aisyah
dinikahi Nabi ketika berusia 9 tahun), dengan alasan ittibak sunnah
Nabi.
Maka, poin penting saya di sini, sunnah umat itu bukan saja
sesuatu yang mungkin, bahkan suatu keniscayaan sejarah, serta
direkomendasikan sendiri oleh hadis (sunnah Nabi). Sehingga, ia
menempati posisi otoritatif sebagaimana dua sunnah lainnya. Tesis ini
setidaknya bisa saya jelaskan dalam paparan berikut ini. Dalam sebuah
hadis sahih (riwayat Bukhari Muslim) yang mengisahkan dakwah Muadz bin
Jabal ke Yaman, jelas dinyatakan bahwa Nabi merekomendasikan ijtihad
(pemikiran pribadi) sebagai rujukan hukum dan moral-etik manakala tidak
ditemukan solusi normatifnya dalam al-Qur’an (baca: Sunnah Allah) dan
Sunnah Nabi. Di hadis lain juga dinyatakan bahwa siapa saja yang memulai
tradisi kebaikan (man sanna sunnata huda), maka ia mendapat
pahala atas perbuatannya itu, juga pahala yang sama dengan para pengikut
tradisinya itu; sebaliknya, siapa yang memulai tradisi kesesatan (man sanna sunnata dlalalin), maka ia mendapat dosanya, juga dosa sebanyak para pengikut tradisi keburukannya itu (HR Muslim, hadis nomor 1017).
Dari
hadis yang disebut terakhir, tersirat suatu wawasan progresif bahwa
sunnah itu bukan berafiliasi semata kepada Allah dan Muhammad (manusia
pilihan), tetapi juga pada umatnya (manusia lumrah). Kebaikan, petunjuk,
kebenaran, bukan semata-mata monopoli Nabi sebagai pusat rujukan dan
sumbernya, tetapi bisa juga umat pengikutnya. Sebab, logikanya, jika
sunnah itu hanya merujuk ke Nabi saja, misalnya, dari hadis kedua di
atas orang bisa memahami bahwa sunnah Nabi itu ada yang baik, mengandung
petunjuk, kebenaran (sunnata huda) dan ada pula yang mengusung kesesatan (sunnata dlalalin). Selanjutnya, dari poin definisi di paragraf sebelumnya, kita dapati bahwa sanna-yasunnu (yang menderivasi kata sunnah, dan kata sanna juga tertulis di hadis kedua) itu salah satunya bermakna: ibtada’a amran min al-birr lam ya’rifhu qaumuhu, “memulai suatu perkara/praktik kebaikan yang tidak ada sebelumnya”. Dalam konteks ini, “memulai” (ibtada’a)
itu bersifat umum, artinya bukan semata dipahami sebagai pemikiran,
sikap, dan tindakan Nabi, melainkan bisa juga pemikiran, sikap, dan
tindakan umatnya.
Dari hadis hadis tersebut pula, sesungguhnya
tersirat sebuah anjuran, atau bahkan suatu perintah, agar kita membuat
sunnah-sunnah baru, bidah-bidah baru, bukannya malah terpaku secara
dogmatis hanya pada dua sunnah yang lain an-sich: Sunnah Allah
(baca: al-Qur’an) dan Sunnah Nabi. Sebab, hanya dengan bidah-bidah atau
sunnah-sunnah baru itulah peradaban kita (Islam dan kaum Muslim) akan
selalu dinamis dan progresif, tidak jumud. Tentu saja, yang dimaksud di
sini tidak asal-asalan, melainkan bid’ah/sunnah yang baik (hasanah).
Kemudian,
dengan merujuk pada hadis yang disebut pertama, sunnah/bidah yang baik
itu bisa terwujud melalui kerja ijtihad. Ijtihad ini tentu tidak waton,
asal-asalan, akan tetapi melalui kerja analisis dan pengkajian yang
intensif atas obyeknya, serta dilakukan oleh pakar (mujtahid,
cendekiawan) yang berkompeten dan memenuhi syarat konvensional, serta
memiliki ketajaman intuisi dan kedalaman pemikiran dalam melihat
pemasalahan. Selain itu, yang perlu digarisbawahi, bahwa ijtihad ini
terutama beroperasi pada ajaran-ajaran yang bersifat
teknis-implementatif (kaifiyyah, furu’iyyah), serta hanya dalam bidang-bidang masalah yang bersifat keduniaan, hubungan antar manusia (muamalat), bukan pada bidang-bidang spiritual, akidah, ritual (‘ubudiyyah).
Pertimbangan lain pula, jika dalam praktiknya di lapangan patut diduga
obyek tersebut terkait dengan kepentingan publik secara luas, baik
bersifat homogen (kepentingan sesama kaum Muslim) maupun heterogen
(kepentingan Muslim dan non-Muslim), maka ijtihad itu harus melalui
proses diskursif di tengah publik yang melibatkan semua pihak yang
berkepentingan (baik pribadi maupun komunitas), baik secara langsung (‘amali) maupun secara tidak langsung (sukuti), sehingga produknya nanti disebut ijtihad jama’iy atau konsensus (ijmak). Wallahu a’lam.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar