Senin, 05 Desember 2016

Trilogi Sunnah

Istilah sunnah secara umum dimaknai sebagai tradisi (tradition). Hanya saja, sekian lama ini istilah tersebut sepertinya semata-mata terkait dengan tradisi kenabian Muhammad SAW (sirah nabawiah). Sehingga, konotasinya menjadi tunggal dan terkesan terbatas, yakni apa saja yang terkait dengan praktik Nabi selama hidupnya, baik mencakup ucapan, tindakan, sikap, dan seterusnya. Maka ketika kita menyebut sunnah, berarti maksudnya sunnah Nabi. Ketika ada ungkapan bahwa sumber hukum kedua setelah al-Qur’an adalah sunnah, maka yang dimaksud sunnah itu adalah praktik Nabi.

Kita jarang, atau malah tak pernah, misalnya, mengaitkan kata sunnah dengan Allah, walaupun kita tahu dalam tradisi keislaman ada istilah sunnatullah (sunnah Allah). Bahkan jika mau lebih cermat, sesungguhnya jika kita kembali ke akar etimologisnya, dan didukung pula oleh sejumlah hadis Nabi sendiri, sunnah itu sejatinya tidak hanya terbatas pada Nabi saja, tetapi juga pada umatnya. Namun, karena kita tidak mencermatinya, tidak menghampirkan pemahaman kita ke sana, serta dibutakan oleh pembatasan pada diri Nabi saja (sunnah nabawiah), maka tak pernah kita mengaitkan istilah sunnah itu dengan umat. Sunnah ya hanya terbatas pada Nabi saja, sudah, titik. Sunnah di luar itu (baca: sunnah Nabi) tidak penting, karena tidak populer, serta tidak otoritatif untuk dijadikan landasan etik dan hukum.

Definisi
Sunnah, secara kebahasaan (etimologis) berasal dari kata sanna-yasunnu, yang berarti “berjalan” (sirah). Pengertian ini mungkin dikaitkan dengan definisi lain, bahwa sanna al-thariqah itu sama artinya sanna fiha, artinya meniti jalan (al-thariqah). Oleh karena itulah, lazim dipahami bahwa bentuk mashdar atau kata dasar sunnah itu mengandung arti “jalan (thariqah), cara, tradisi, sirah, tabiat, juga syariat” (lihat: kamus al-Munjid, hlm 353). Kalangan sufi secara gamblang memaknai sunnah sebagai thariqah atau jalan (lihat: Abd al-Mun’im al-Hafani, al-Mawsu’ah al-Shufiyyah, hlm 800). Tentu saja, yang mereka maksud adalah jalan ruhani. Mereka memahami bahwa tarekat (dari kata: thariqah) adalah jalan ruhani (spiritual) yang mata rantainya bersambung melalui para guru spiritual (mursyid) hingga akhirnya ke Nabi. Oleh karena itu, bagi kaum sufi, kaum tarekat, mengikuti tarekat sesungguhnya sama saja mengikuti sunnah Nabi.

Yang menarik, jika menilik kamus, kita mendapati bahwa kata kerja sanna-yasunnu (yang menderivasi kata sunnah itu) bisa juga memiliki arti memulai, menginisiasi, memrakarsasi, membidani suatu hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Kalimat sanna fulan thariqan min al-birr, sebagai misal, mengandung makna ibtada’a amran min al-birr lam ya’rifhu qaumuhu, “si Polan memulai suatu perkara atau praktik kebaikan yang tidak pernah diketahui kaumnya sebelum itu” (lihat: al-Munjid, idem). Sampai di sini, dalam pengertian keagamaan, sanna-yasunnu bisa sama artinya dengan ibtada’a-yabtadi’u, “mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama”, sehingga kata benda sunnah bisa bermakna bid’ah (heretik).

Sunnatullah
Kita umumnya selama ini memaknai istilah sunnatullah (sunnah Allah) secara tunggal dan klise, yakni hukum alam. Yang dimaksud dengan hukum alam di sini adalah karakter-karakter tertentu alam semesta beserta isinya yang bersifat baku, pasti, dan tidak bisa diubah-ubah (QS al-Isra’: 77; QS al-Fathir: 43). Misalnya, alam semesta kita beserta isinya memiliki karakter berpasang-pasangan: siang-malam, jantan-betina, baik-buruk, besar-kecil, dst, itu semua kita katakan merupakan sunatullah.

Ada sekitar 10 ayat al-Qur’an yang berbicara tentang sunatullah, dan kita mendapati suatu wawasan bahwa ia selalu dikaitkan dengan hukum sebab-akibat (kausalitas). Orang-orang yang berbuat kebajikan akan mendapat kemenangan. Sebaliknya, para pendosa akan ditimpa derita dan sengsara, bahkan kehancuran, dari Tuhan. Dinyatakan, bahwa itulah hukum sebab-akibat yang pasti terjadi, tidak bisa diubah-ubah, dan merupakan sunatullah. Contoh ayat yang mengindikasikan wawasan ini antara lain QS Ali Imran: 137, “Telah berlalu sunnah-sunnah Allah kepada orang-orang sebelum kalian, maka berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana akibat yang terjadi pada orang-orang yang berbuat aniaya.

Namun demikian, jika menilik aspek etimologis dalam definisi di atas, bahwa sunnah itu bisa bermakna jalan, cara (thariqah), syariat (secara bahasa berarti: jalan)—hal mana mengonotasi pada wawasan yang bersifat teknis,  maka, hemat saya, sunnatullah itu tidak cukup dimaknai sebagai hukum alam (kausalitas), melainkan semacam ketentuan atau ketetapan yang Allah peruntukkan bagi alam semesta beserta seluruh isinya (termasuk manusia) yang khas, tertentu, sesuai dengan karakter, tabiat, juga kondisi ruang dan waktu.
Oleh karena itu, ketika Allah, misalnya, menetapkan suatu syariat kepada seorang nabi dan  kaumnya, dan di ruang dan waktu lain Allah menentukan syariat yang berbeda kepada nabi dan umat yang lain, hemat saya itu juga merupakan sunnatullah. Ketetapan seperti ini tidak bisa dibalik, misalnya syariat untuk kaum Nabi Nuh As diterapkan untuk kaum Nabi Musa As, atau sebaliknya. Secara natural (baca: hukum alam), skema “tukar posisi” jelas akan rancu dan timpang, sebab karakter atau tabiat antara satu umat dengan umat lain tentu berbeda.

Sampai di sini, maka dalam konteks keislaman, apa yang juga bisa dikategorikan sebagai sunatullah adalah ketentuan-ketentuan Allah di dalam al-Qur’an yang dicanangkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan, seperti cara menangani kriminalitas, cara berbisnis, berpolitik, berperang, membagi warisan, menikah, dan bidang-bidang hidup bermasyarakat lainnya (keduniaan, muamalat). Wacana yang ditawarkan al-Qur’an dalam bidang-bidang tersebut bersifat khas, mencirikan kecenderungan sosial-budaya tertentu, dan tentu saja terkait dengan ruang dan waktu ketika kitab suci itu turun. Satu misal kecil saja, dalam wawasan al-Qur’an, perbudakan dan hukuman mati  (kisas, rajam, pancung) secara terang-benderang diakomodasi. Ini dengan kata lain, Tuhan mengamini tradisi perbudakan dan hukuman mati. Namun, hal tersebut tentu masuk akal, bukan merupakan keanehan, karena kondisi masyarakat kala itu yang tribalistik, tradisional, nomaden, dan gemar berperang, memang masih memungkinkan berkembangnya tradisi perbudakan.

Sunnah Nabi
Kita semua hampir sepakat ihwal definisi tentang sunnah Nabi, yang lazim juga disebut sunnah Rasul ini. Yakni, apa saja yang tercakup dalam praktik Muhammad, baik itu ucapan, tindakan, ataupun sikap. Ulama masih berdebat serius, tentang apakah praktik Muhammad itu selalu dalam bimbingan Tuhan sehingga bersifat maksum, terbebas dari kesalahan (wama yanthiqu ‘an al-hawa, in huwa illa wahyun yuha),  ataukah sebaliknya: terkait dengan kecenderungan pribadinya sehingga ada potensi salah atau keliru.
Hal yang prinsipal dari sunnah Nabi ini, bahwa ia merupakan tafsir (tafsir, tafshil) ataupun penjelasan (bayan) atas al-Qur’an. Ungkapan al-Qur’an yang bercorak umum, diekstraksikan oleh sunnah Nabi, lalu diperinci dan diperjelas. Pernyataan al-Qur’an yang masih abstrak, akan ditafsirkan oleh sunnah Nabi, sehingga menjadi jelas. Dalam posisi ini, sunnah Nabi sangat sejalan dengan konsep sunnah sebagai “tradisi yang baru”. Disebutkan dalam definisi di atas, salah satu pengertian sanna-yasunnu (yang menderivasi kata sunnah), yakni ibtada’a amran min al-birr lam ya’rifhu qaumuhu, “memulai suatu perkara/praktik kebaikan yang tidak ada sebelumnya”.

Dalam posisinya sebagai penjelasan/tafsir atas al-Qur’an, sunnah Muhammad adalah “sesuatu yang baru”, yang sebelumnya tidak dikenal oleh kaum Muslim kala itu, karena memang tidak termaktub di dalam al-Qur’an. Muhammad mengintrodusirnya, karena dialah sesatu manusia yang dianggap paling mampu memahami maksud al-Qur’an, disebabkan posisinya sebagai “al-Mushthafa”, yang terpilih untuk menerima wahyu Tuhan di antara sekian manusia. Misalnya, al-Qur’an memerintahkan tentang salat, tanpa memaparkan ihwal tata-cara (kaifiyyah)-nya. Muhammad, melalui sunnahnya, menjelaskan dan mencontohkan tata-caranya secara detil. Lagi, al-Qur’an menitahkan zakat lengkap dengan amwal zakawi (jenis hartanya) dan mustahiq (yang berhak atasnya), tetapi tidak ada keterangan tentang miqdar (besaran zakatnya). Melalui sunnahnya, Muhammad menjelaskan tentang besaran atau kadar yang harus dikeluarkan dari harta-harta wajib zakat (amwal zakawi).

Pada beberapa kasus, ada juga sunnah-sunnah Nabi yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an. Artinya, sunnah-sunnah tersebut tidak dalam kapasitas sebagai penjelas atau penafsir al-Qur’an, melainkan merupakan praktik Nabi secara mandiri dalam merespons realitas keseharian di masyarakat. Ini mungkin lebih dekat ke pengertian sunnah sebagai cara atau jalan (thariqah), yang lebih banyak didasarkan pada kecenderungan pribadi Nabi sendiri, yang bisa saja merupakan sebuah ijtihad manusiawi beliau (lepas dari petunjuk Tuhan), atau bisa juga mengadaptasi pada tradisi yang hidup (living tradition) kala itu. Meski begitu, dalam konteks keislaman, praktik seperti ini pun otoritatif, karena Nabi diyakini sebagai teladan utama (QS al-Ahzab: 21), berakhlak mulia (QS al-Qalam: 4), dan menaatinya sama artinya dengan menaati Tuhan (QS al-Nisa’: 80).

Sunnah Umat
Dalam main-stream yang berkembang selama berabad lamanya, dinyatakan bahwa Sunnah Allah—yang termanifestasi dalam al-Qur’an—dan Sunnah Nabi itu merupakan rujukan nilai moral-etik yang paling otoritatif. Argumen dasarnya, bahwa apa yang tertuang dalam al-Qur’an pastilah bersifat paripurna, karena berasal dari Tuhan. Selain itu, bahwa posisi Sunnah Nabi juga hampir sama kuatnya dengan Sunnah Allah, karena ia merupakan tafsir atas ketetapan-ketetapan al-Qur’an itu sendiri (bahkan ada sebagian kalangan konservatif yang memposisikan sunnah Nabi sebagai sesuatu yang ilahiah, karena meyakini bahwa segala sikap dan perilaku Nabi dalam bimbingan Tuhan alias maksum). Kedudukan keduanya sebagai rujukan utama ini diyakini oleh kaum konservatif dari masa ke masa, yang intinya berkisar pada klausul utama bahwa: pertama, kebenaran tertinggi itu bersumber pada keduanya, di luar keduanya adalah tidak penting, atau bisa jadi malah bidah (heretik) dan sesat; kedua, posisi keduanya yang sedemikian itu bersifat lintas ruang dan waktu, alias mutlak. Ada sejumlah ayat al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi yang dalam pemahaman subyektif mereka mendukung pandangan seperti itu.

Padahal, kalau kita mengkaji dengan pendekatan Sunnah Nabi (hadis) sendiri, serta mendasarkan pada aspek etimologis (akar bahasa), sesungguhnya sangat naif kalau dikatakan sumber kebenaran tertinggi hanya keduanya (kebenaran lainnya hanya sub-ordinat), apalagi sampai memutlakkan sehingga di luar keduanya dianggap bidah dan sesat. Sebab, kembali ke tesis saya dalam poin definisi di atas, bahwa sunnah (apa pun, sunnah Nabi, bahkan sunnah Allah sekalipun) itu bersifat khas, mencirikan kecenderungan sosial-budaya tertentu—karena terkait dengan kondisi ruang dan waktu (nisbi). Sunnah adalah produk budaya (muntaj tsaqafiy), karena ia lahir tidak dalam ruang dan waktu yang hampa sejarah; sebaliknya, merupakan hasil dari negosiasi antara nilai-nilai ideal (ilahiah, nabawiah) dengan dinamika sosial di masyarakat. Secara normatif, ia memiliki titik tolak dan tujuan (maqashid), yakni kemaslahatan manusia (mashlahah), karena Allah menurunkan agama-Nya (Islam), menetapkan sunnah-sunnah-Nya, di dunia tidak lain demi kebaikan semesta. Begitu pula spirit sunnah-sunnah Muhammad, sang nabi, tidak lain adalah kemaslahatan manusia, karena ia diutus sebagai rahmatan lil-‘alamin (QS al-Anbiya’: 107).

Hemat saya, spirit yang terkandung di balik sunnah Tuhan maupun sunnah Muhammad inilah, yakni cita maslahat, yang bersifat mutlak dan absolut. Nilai maslahat, yang menjadi titik tolak sekaligus tujuan (maqashid ) daripada sunnah, itulah yang universal, yang menembus sekat-sekat ruang dan waktu. Sehingga sampai kapan dan di mana pun, cita atau nilai maslahat inilah yang menjadi tolok ukurnya. Baik sunnah Tuhan, sunnah Nabi, maupun sunnah umat (manusia), semuanya berposisi sebagai sub-ordinat terhadap cita maslahat ini. Ketiga-tiganya memiliki karakter sama, yakni nisbi dan terbatas, karena konstruksinya sangat terkait dengan kondisi waktu dan tempat tertentu.

Maka, klausul yang tepat mustinya adalah: sunnah Tuhan, sunnah Nabi, itu bisa berlaku atau aplikatif dalam kehidupan umat sepanjang masih dapat memenuhi tuntutan kemaslahatan manusia. Manakala kedua sunnah utama itu tidak lagi bisa memenuhinya, maka kita bisa saja beralih ke yang lain, yakni (dalam hal ini) sunnah umat, jika dirasa atau patut diduga lebih memenuhi tuntutan maslahat. Kita di sini bisa mengambil beberapa kasus, misalnya poligami, hukum waris, dan kesaksian perempuan, yang dicanangkan oleh al-Qur’an (baca: sunnah Tuhan). Empat belas abad yang lalu, di tanah Arab yang diselimuti tradisi tribal yang patriarkis, ketentuan-ketentuan Tuhan itu semua bisa diaplikasikan, karena masih memenuhi tuntutan kemaslahatan masyarakat. Untuk konteks sekarang, ketentuan seperti itu bisa saja diabaikan jika dirasa tidak sejalan dengan tuntutan maslahat, dan kita bisa berpaling pada ketentuan lain yang lebih menawarkan maslahat, lebih memenuhi rasa keadilan dan kesetaraan, meskipun merupakan konstruksi pemikiran manusia modern (sunnah umat). Dari sunnah Nabi, kita bisa mengambil ajaran pernikahan dini (under-age marriage) sebagai contoh kasus. Untuk konteks dakwah Nabi kala itu, di mana masyarakatnya masih tribalistik, menikahi anak di bawah umur menjadi hal yang lumrah. Dengan kata lain, budaya semacam itu masih kompatibel dengan tuntutan maslahat umat waktu itu. Pelakunya tidak akan disebut pedofil. Sebaliknya, di alam modern seperti sekarang, di mana dalam konstruksi pemikiran kontemporer (baca: sunnah manusia) isu kesehatan reproduksi merupakan arus utama yang menjadi konsern dunia global, tentu tidak pada tempatnya kita mengikuti secara saklek tradisi tersebut (Aisyah dinikahi Nabi ketika berusia 9 tahun), dengan alasan ittibak sunnah Nabi.

Maka, poin penting saya di sini, sunnah umat itu bukan saja sesuatu yang mungkin, bahkan suatu keniscayaan sejarah, serta direkomendasikan sendiri oleh hadis (sunnah Nabi). Sehingga, ia menempati posisi otoritatif sebagaimana dua sunnah lainnya. Tesis ini setidaknya bisa saya jelaskan dalam paparan berikut ini. Dalam sebuah hadis sahih (riwayat Bukhari Muslim) yang mengisahkan dakwah Muadz bin Jabal ke Yaman, jelas dinyatakan bahwa Nabi merekomendasikan ijtihad (pemikiran pribadi) sebagai rujukan hukum dan moral-etik manakala tidak ditemukan solusi normatifnya dalam al-Qur’an (baca: Sunnah Allah) dan Sunnah Nabi. Di hadis lain juga dinyatakan bahwa siapa saja yang memulai tradisi kebaikan (man sanna sunnata huda), maka ia mendapat pahala atas perbuatannya itu, juga pahala yang sama dengan para pengikut tradisinya itu; sebaliknya, siapa yang memulai tradisi kesesatan (man sanna sunnata dlalalin), maka ia mendapat dosanya, juga dosa sebanyak para pengikut tradisi keburukannya itu (HR Muslim, hadis nomor 1017).

Dari hadis yang disebut terakhir, tersirat suatu wawasan progresif bahwa sunnah itu bukan berafiliasi semata kepada Allah dan Muhammad (manusia pilihan), tetapi juga pada umatnya (manusia lumrah). Kebaikan, petunjuk, kebenaran, bukan semata-mata monopoli Nabi sebagai pusat rujukan dan sumbernya, tetapi bisa juga umat pengikutnya. Sebab, logikanya, jika sunnah itu hanya merujuk ke Nabi saja, misalnya, dari hadis kedua di atas orang bisa memahami bahwa sunnah Nabi itu ada yang baik, mengandung petunjuk, kebenaran (sunnata huda) dan ada pula yang mengusung kesesatan (sunnata dlalalin). Selanjutnya, dari poin definisi di paragraf sebelumnya, kita dapati bahwa sanna-yasunnu (yang menderivasi kata sunnah, dan kata sanna juga tertulis di hadis kedua) itu salah satunya bermakna: ibtada’a amran min al-birr lam ya’rifhu qaumuhu, “memulai suatu perkara/praktik kebaikan yang tidak ada sebelumnya”. Dalam konteks ini, “memulai” (ibtada’a) itu bersifat umum, artinya bukan semata dipahami sebagai pemikiran, sikap, dan tindakan Nabi, melainkan bisa juga pemikiran, sikap, dan tindakan umatnya.

Dari hadis hadis tersebut pula, sesungguhnya tersirat sebuah anjuran, atau bahkan suatu perintah, agar kita membuat sunnah-sunnah baru, bidah-bidah baru, bukannya malah terpaku secara dogmatis hanya pada dua sunnah yang lain an-sich: Sunnah Allah (baca: al-Qur’an) dan Sunnah Nabi. Sebab, hanya dengan bidah-bidah atau sunnah-sunnah baru itulah peradaban kita (Islam dan kaum Muslim) akan selalu dinamis dan progresif, tidak jumud. Tentu saja, yang dimaksud di sini tidak asal-asalan, melainkan bid’ah/sunnah yang baik (hasanah).

Kemudian, dengan merujuk pada hadis yang disebut pertama, sunnah/bidah yang baik itu bisa terwujud melalui kerja ijtihad. Ijtihad ini tentu tidak waton, asal-asalan, akan tetapi melalui kerja analisis dan pengkajian yang intensif atas obyeknya, serta dilakukan oleh pakar (mujtahid, cendekiawan) yang berkompeten dan memenuhi syarat konvensional, serta memiliki ketajaman intuisi dan kedalaman pemikiran dalam melihat pemasalahan. Selain itu, yang perlu digarisbawahi, bahwa ijtihad ini terutama beroperasi pada ajaran-ajaran yang bersifat teknis-implementatif (kaifiyyah, furu’iyyah), serta hanya dalam bidang-bidang masalah yang bersifat keduniaan, hubungan antar manusia (muamalat), bukan pada bidang-bidang spiritual, akidah, ritual (‘ubudiyyah). Pertimbangan lain pula, jika dalam praktiknya di lapangan patut diduga obyek tersebut terkait dengan kepentingan publik secara luas, baik bersifat homogen (kepentingan sesama kaum Muslim) maupun heterogen (kepentingan Muslim dan non-Muslim), maka ijtihad itu harus melalui proses diskursif di tengah publik yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan (baik pribadi maupun komunitas), baik secara langsung (‘amali) maupun secara tidak langsung (sukuti), sehingga produknya nanti disebut ijtihad jama’iy atau konsensus (ijmak). Wallahu a’lam.(*)

Tidak ada komentar: