Kamis, 07 Agustus 2008

Dongeng Raja Arthur dan Karakter Bangsa

Apa yang akan anda lakukan ketika anak anda lahir ‘invalid‘? Taruhlah misalnya, anak anda lahir dengan kedua kaki lumpuh. Apa yang mesti kita perbuat padanya, agar ia bisa menikmati hidup dengan baik, bahkan kalau bisa sepadan, atau malah melebihi dari orang normal umumnya? Untuk mencari jawaban pertanyaan ini, tonton saja film The Mighty, film ini didasarkan pada novel terkenal karya Rodman Philbrick, dengan melibatkan Sharon Stone, Kieran Culkin serta Elden Hanson. Pernah diputar di Festival Film Internasional di Jakarta 20-28 November 1999 silam.

Mengapa saya anjurkan menonton film tersebut? Karena saya berharap ketika anda dihadapkan pada pertanyaan yang saya lontarkan di awal tadi, jawabnya adalah, “Biasakan anak (invalid) itu dengan dongeng Raja Arthur setiap hari,” maka habis perkara! Dan percayalah, masa depannya tidak akan mengecewakan.
Akan tetapi bukan niat saya untuk mendoakan agar anda nanti dihadapkan pada problem memiliki anak invalid. Dan andai pun anda benar-benar dihadapkan pada persoalan tersebut, saya juga tidak bisa memastikan bahwa solusi yang saya tawarkan akan berhasil, dalam konteks ini saya ingin mengetengahkan wacana yang (mungkin) unik dan menarik, yakni bisa jadi dongeng atau cerita anak-anak, akan punya pengaruh besar dalam membentuk karakter audiens (pendengar atau pembaca)-nya yakni anak-anak, di masa depannya. Dan dari novel Freak the Mighty inilah saya mencoba berpijak atas ‘asumsi spekulatif’ tersebut.

Film ini berkisah tentang bocah invalid bernama Kevin Dillon, sejak brought into the world, Kevin sudah dalam keadaan cacat fisik, yakni kedua kakinya lumpuh. Makanya, saat usia SD, kemana-mana ia harus menggunakan alat penyangga. Namun begitu, cacat fisiknya tak menghalangi keinginannya untuk belajar dengan sungguh-sungguh, agar tidak kalah dengan orang normal pada galibnya. Ditambah lagi, biasanya ini fenomena khas anak yang cacat, di sisi lain ia memiliki kelebihan; berotak cerdas! Dia pandai ilmu-ilmu fisika dan matematika, serta jagoan memecahkan persoalan-persoalan sulit. Makanya guru SD-nya di sekolah menunjuknya sebagai guru pembimbing Maxwell Kane, bocah debil sekelasnya yang meski anak asli Amerika, innosens sekali saat membaca “don’t have no book”.

Si Maxell inilah yang kemudian hari menjadi sahabat karib Kevin, bahkan dia mendapat (semacam) ‘pencerahan’ (enlightment) dari “guru kecil”nya yang lumpuh itu.

Apa yang menyebabkan Kevin punya kelebihan briliant, cerdas, jagoan ngomong filosofis, kreatif dan penuh inovasi saat berhadapan dengan berbagai problem? Kalau saya tangkap sekilas, hal itu terjadi karena sejak kecil sudah seneng membaca “King Arthur and his Knight”, sehingga jadilah dia ”Arthur minded” dalam segala pikiran dan perbuatannya. Tak jarang-jarang, ketika memberi penyadaran atas kedebilan Maxwell, selalu merujuk pada “kata-kata hikmah” dari Raja Arthur dan Ksatria Meja Bundar-nya. Suka duka pertemanan Kevin dan Maxwell seringkali digambarkan bagaimana mereka menghadapi kelompok The Dollhouse pimpinan Blade, karena invaliditas Kevin dan kedebilan Maxwell memang menjadi sasaran empuk anak-anak yang nakal sebaya mereka, entah dihina, dicerca, diganggu, dan seterusnya. Saat gagal ataupun sukses keduanya dalam menghadapi Blade cs, Kevin malah selalu punya legimitasi dari Arthur minded-nya “You are not you any man!” adalah slogan ala Arthurian yang sering diteriakkan Kevin dan Maxwell saat mengalahkan para pengganggu mereka. Dirumahnya pun, Kevin suka dipanggil Marlin merujuk pada sosok penasehat Arthur yang terkenal itu.

Mengapa sampai sedemikian minded-nya si Kevin terhadap tokoh Raja Inggris ini? Lagi-lagi kalau saya tangkap sepintas, barangkali karena Raja Arthur pernah mengatakan “Seorang ksatria itu hanyalah dilihat dari kemampuannya.” dalam sepenggal kalimat filosofis yang selalu menjadi jargonnya dimana-mana, bisa jadi Kevin menemukan profil pembela (defender) atas realitas yang dihadapnya. Dengan ia bisa show of force atas kreativitas dan inovasinya, ia ingin menunjukkan pada orang-orang, bahwa hendaknya mereka tidak melihatnya dari sisi fisiknya (yang lumpuh), akan tetapi dari apa yang bisa dia lakukan (kemampuannya). Maka, (memang) betapa urgennya peran dongeng atau cerita anak-anak merasuki jiwa audiens, sehingga bisa merubah world-view-nya tentang hidup ini secara total.

Dalam konteks ini, Rodman Philbrick dengan novel itu, bisa jadi bukan orang pertama yang berpretensi dengam kesimpulan demikian. David McClelland, seorang psikolog sosial yang tertarik pada masalah-masalah pembangunan, melalui penelitian dan pembuktian yang nyata menyimpulkan secara lain, bahwa kegunaan dongeng (cerita anak-anak) bukan hanya menitipkan pesan-pesan moral kepada audiens (anak, cucu dsb).

Awalnya David McClelland mempertanyakan mengapa ada bangsa-bangsa tertentu yang rakyatnya (suka) bekerja keras untuk maju, dan mengapa ada yang tidak? Dia memperbandingkan bangsa Inggris dan Spanyol , yang pada abad ke 16 merupakan dua negara raksasa yang kaya raya, namun sejak itu Inggris terus berkembang menjadi makin besar, sedangkan Spanyol menurun menjadi negara yang lemah. Mengapa terjadi demikian? Apa yang menjadi sebabnya?

Setelah semua pojok diperiksa, semua dedaunan dan rerumputan dibolak-balik, akhirnya dia menemukan (juga) jawabannya, McClelland mulai memperhatikan hal lain: cerita atu dongeng anak-anak yang terdapat di kedua negeri tersebut. Ternyata, di sini dia menemukan apa yang dicari.

Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak yang berkembang di Inggris pada awal abad ke 16 itu mengandung semacam “virus” yang menyebabkan pendengar dan pembacanya terjangkiti penyakit ”butuh berprestasi”, atau “the need for achievement”, yang kemudian disimbolkan dengan “n-Ach”, yang menjadi sangat terkenal itu. Sementara dongeng dan cerita anak-anak yang berkembang di Spanyol justru menina-bobokan , tidak mengandung virus tersebut.

McClelland masih kurang yakin dengan penemuan tersebut, maka kemudian ia melakukan penelitian sejarah. Dokumen-dokumen kesusasteraan dari Jaman Yunani kuno seperti puisi, drama, pidato, penguburan, surat yang ditulis oleh para nahkoda kapal, kisah epik, dan sebagainya, dipelajari. Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah didalamnya terdapat semangat n-Ach. Kalau karya-karya tersebut menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, tidak cepat menyerah, itu berarti nilai n-Ach-nya dianggap tinggi, kalau tidak, nilainya dianggap kurang. Dari data dan hasil penilaian itu ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu didahului oleh nilai n-Ach yang tinggi dalam karya sastra yang ada ketika itu (Arief Budiman,1995)

McClelland juga mengumpulkan 1300 dongeng dan cerita anak-anak dari banyak negara dari era tahun 1925 dan 1950. Hasil penilaian menunjukkan bahwa dongeng dan cerita anak-anak yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi pada suatu negeri, selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

Saya pikir memang barangkali terlalu gegabah untuk mengatakan bahwa ‘fenomena Kevin Dillon’, yang begitu ’Arthurminded’ yang saya ceritakan di atas adalah suatu bukti tentang keberhasilan seorang audiens menangkap kandungan n-Ach pada suatu dongeng (cerita anak-anak). Sebab, bagaimanapun Freak The Mighty cuma sekedar ‘karya subyektif’ Rodman Philbrick. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa bisa jadi profil Inggris kontemporer, sebagai negara maju dan modern, bukan sebuah ‘manifesto’ dari Arthur dan his Knight yang dibaca dan didengar anak-anak Inggris dari generasi ke generasi.

Tetapi cobalah kita tengok diri kita sendiri. Misalnya saja, kenapa para pejabat kita banyak yang bertampang korup, penipu dan maling? Sehingga mengakibatkan bangsa kita tidak juga bisa mentas dari keterbelakangan, keterpurukan ekonomi? Dengan memakai kacamata McClelland, mungkinkah kita kita bisa berujar, bahwa penyebabnya adalah karena bapak-bapak kita yang di atas itu memiliki spirit Kancil yang penipu dan maling legendaris itu, yang dulu mereka dengar dari para orang tua para orang tua dan simbah-simbah mereka dalam dongeng Kancil dan Pak Tani?

Akhirnya, bukankah kita semua sepakat, bahwa lingkungan keluarga, dimanapun, merupakan unsur yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter kepribadian setiap anak. Sebab, saat-saat bersama keluarga pada seorang anak, umumnya lebih banyak dari pada di luar rumah. Nah, ketika dongeng adalah suatu ciri khas dalam tradisi kekeluargaan, maka tidak menutup kemungkinan jika dikatakan bahwa kegunaan dongeng memang bukan sekedar medium pendidikan, penyampaian pesan moral, kepada anak yang sifatnya sesaat, akan tetapi besar kemungkinannya turut pula dalam membangun pola pikir anak, dalam menghadapi dunianya dimasa depan. Di sinilah barangkali, ada titik kesepakatan kita terhadap kesimpulan McClelland. Sehingga kapan, di mana, kepada siapa dan untuk kepentingan apapun kita bercerita ataupun mendongeng kepada anak-anak kita (tentunya dongeng dan cerita anak-anak dalam berbagai variannya di era sekarang; melalui lisan, komik, televisi, CD dan seterusnya), hendaknya tetap mengacu pada penumbuhan semangat n-Ach yang diidealkan oleh McClelland yakni optimisme yang tinggi, keberanian mengubah nasib, tidak cepat menyerah. Wallahu a’lam.(*)