Senin, 05 Desember 2016

Tafsir Poligami Menurut Muhammad Syahrur (1)

Jika dipetakan secara umum, ada pertentangan diametral antara fikih klasik dan modern dalam memandang poligami (ta’addud al-zaujat). Fikih klasik memandang bahwa poligami (beristri lebih dari satu) adalah sesuatu yang absah, boleh, asalkan sesuai dengan ketentuan, yakni: [1] tidak lebih dari empat dalam satu waktu, [2] bisa berbuat adil di antara para istri. Tidak ada keharusan, misalnya, bahwa istri-istri itu janda atau perawan, beranak atau tidak, dst. Dengan kata lain, wanita apa pun boleh dinikahi sebagai istri kedua sampai keempat. Dasar argumennya simpel saja, yakni bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi memerintahkan dan menjelaskan hal itu.

Ayat yang menjadi acuan praktik poligami adalah QS al-Nisa’: 3, di mana para mufasir dan ulama klasik mengartikannya kurang lebih sbb: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2006, hlm 99-100). Berdasarkan ayat di atas, ulama klasik (khususnya mufasir) menegaskan bahwa poligami adalah mubah, dibolehkan. Di antara yang menyatakan pandangan tersebut adalah Ibnu Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (1/596); Ibnu Jarir al-Thabari, dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aay al-Qur’an (3/573); ataupun Al-Nasafi, dalam Tafsir al-Nasafi (1/203).

Dari ayat ini, dijelaskan bahwa boleh (mubah) menikahi lebih dari satu orang istri (poligami), dan maksimalnya adalah empat. Jumhur Ulama menafsirkan, bahwa kata “fankihuu” (maka nikahilah) dalam ayat di atas bersifat takhyir (pilihan) kepada mukallaf, yang berarti boleh melaksanakan (lihat, misalnya: al-Zarkasi, al-Bahr al-Muhith, 1994, jilid 1/262). Hanya saja, kebolehan itu mensyaratkan satu hal yang penting, yakni bahwa pelakunya harus bisa berlaku adil terhadap para istri. Imam Syafi’i menegaskan, keadilan terutama menyangkut nafkah batin (lihat, al-Umm, 5/158 & 280). Jika khawatir tidak bisa berbuat adil, maka, merujuk ayat tersebut, seseorang menikahi satu wanita saja (monogami).
Hal yang sama juga ditegaskan oleh mufassir Indonesia, Quraish Shihab, bahwa ayat di atas tidak sedang mengatur tentang poligami, karena tradisi itu sudah lumrah kala itu. Juga, ayat tersebut tidak mewajibkan atau menganjurkan. Ayat tersebut hanya membolehkan, namun dengan persyaratan yang amat ketat (lihat: Tafsir al-Mishbah, vol. 2, hlm. 325).

Sedangkan dari hadis Nabi Saw, yang bisa menjadi rujukan, antara lain:  Sungguh Nabi Saw pernah mengelilingi [menggilir] isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri (lihat, Shahih Bukhari, hadis no. 5068 dan Sunan al-Nasa’i, 6/54).

Berbeda dengan fikih klasik, fikih kontemporer (modern) memandang poligami sebagai bentuk diskriminasi atas perempuan dan nota bene merupakan produk budaya patriarkis Arab-tribal. Baik istri kedua perawan atau janda, sama saja halnya, poligami tidak bisa ditolerir. Umumnya, argumen fikih kontemporer didasarkan pada suatu wawasan umum yang rasionalistik bahwa: [1] tidak ada manusia yang bisa berbuat adil—bahkan hal ini ditegaskan sendiri oleh al-Qur’an (lihat, QS 4: 129), [2] secara naluriah tidak ada perempuan yang rela diduakan (dimadu). Oleh karena itu, ketika syarat utamanya saja (baca: keadilan—seperti termaktub dalam ayat al-Qur’an di atas) sebagai sesuatu yang mustahil, maka konsekuensi logisnya poligami sesungguhnya dilarang. Pendapat ini dipegang, misalnya, oleh Ashgar Ali Engineer, cendekiawan Muslim asal India (Engineer, 1994: 30). Ulama modernis lain, Muhammad Abduh, juga mengamini pendapat Ashgar.
Dalam Tafsir al-Manar (Rasyid Ridla, 1973, 13), Abduh menyatakan bahwa poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman.

Jika dipetakan, perbedaan kontras antara fikih klasik dan fikih kontemporer ini disebabkan oleh faktor pendekatan. Fikih klasik mengacu pada pendekatan ortodoks, sedangkan fikih modern berpijak pada pendekatan realis. Dalam paradigma ortodoksi, bunyi harafiah teks adalah ukuran kebenaran, sehingga perubahan sosial apa pun harus dibawah kendali teks (Mas’udi, 1993: 178). Sebaliknya, dalam pendekatan realis, rasio dan kenyataan sosial adalah ukuran kebenaran tertinggi, sehingga apa pun harus diukur dengan keduanya. Bahkan, jika perlu, teks suci pun musti dibagankan dalam kerangka rasio dan realitas sosial; dengan kata lain, jika tidak rasional, tidak sesuai dengan kecenderungan publik (baca: wawasan tentang keadilan bagi laki-laki dan perempuan), maka layak untuk diabaikan, atau bahkan dicampakkan sama sekali (Ibid). Dalam ungkapan lain, dalam soal poligami ini, fikih klasik membela teks suci, sedangkan fikih kontemporer ingin membela manusia; manusia di sini, persisnya, adalah kaum perempuan.
***

Pemikiran Muhammad Syahrur, seorang cendekiawan Muslim asal Damaskus, Suriah, akan menarik dikaji jika dibagankan dalam kerangka dialektika teks dan realitas kontemporer yang dinamis. Syahrur adalah mufassir (ahli tafsir) dengan tipologi yang khas. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Syahrur tidak menempuh metode klasik pada umumnya. Salah satu metode klasik yang populer adalah Tahlili, yang berfokus pada penafsiran, uraian, ataupun kajian atas ayat per ayat (dari awal sampai akhir), baik dari segi makna lafaz (kosa kata), tokoh historis, kandungan hukum, unsur i’jaz dan balaghah, asbab al-nuzul, dst, dengan merujuk pada riwayat-riwayat (hadis) yang terkait [Al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudlu’i, 1977: 24]. Syahrur sama sekali tidak berminat pada metode seperti ini.

Metodologi Syahrur
Syahrur mungkin lebih tepat dikategorikan mufasir penganut metode tematik (Maudlu’i). Metode ini secara umum coba mengklasifikasikan (menggabungkan) atau mengkomparasikan pelbagai ayat (baik dalam satu surat atau beberapa surat) yang diasumsikan memiliki kesamaan tema. Menurut Sahiron Syamsuddin, dalam “Metode Intertekstualitas Syahrur dalam Penafsiran al-Qur’an”, (1999: 44), meski sebenarnya metode itu sudah ada sejak awal sejarah Islam, namun aplikasinya secara lebih sistematis baru pada abad 20. Hanya saja, Syahrur mengistilahkannya secara berbeda. Dalam bukunya yang kondang, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1992: 197), metode ini disebutnya “intratekstualitas”. Justifikasi Syahrur atas metode ini adalah QS al-Muzammil: 4. Dalam ayat tersebut terdapat kata “tartil”, yang oleh mayoritas ulama diartikan “tilawah” (membaca). Syahrur berargumen secara baru bahwa kata tartil berasal dari kata akar ratl, yang dalam bahasa Arab berarti “barisan pada urutan tertentu”, sehingga maknanya yang benar adalah “mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain”.  Dalam metode ini, ada salah satu elemen kunci yang dicanangkan Syahrur, yakni analisis linguistik paradigmo-sintagmatik. Paradigmatis adalah mencari dan memahami suatu konsep atau kata dengan cara mengaitkan pada konsep atau simbol lain yang mendekati atau berlawanan. Sedangkan sintagmatis adalah memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.

Kasus Ayat Poligami
Metode dan analisis Syahrur di atas, secara nyata teraplikasi dalam tafsirnya atas ayat poligami.  Secara khusus, Syahrur berfokus pada kata tuqsithu (qisth) dan ta’dilu (‘adl) dalam QS al-Nisa’: 3, ayat yang memang menjadi rujukan dasar tentang syariat poligami. Kata tuqsithu berasal dari kata qasatha dan ta’dilu berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam pemahaman orang Arab mempunyai dua pengertian yang kontradiktif. Makna yang pertama adalah al-’adlu (QS al-Maidah [5]: 42, al-Hujurat [49]: 9, al-Mumtahanah [60]: 8), sedangkan makna yang kedua adalah al-zhulm wa al-jur (QS al-Jinn [72]: 14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (sama, lurus) dan bisa berarti al-a’waj (bengkok). Dari analisis tersebut, Syahrur lalu berkesimpulan bahwasanya ada perbedaan dalam mengartikan dua kalimat tersebut, al-qasth  dan al-‘adl.  Mayoritas ulama mengartikannya secara sama (sinonim), yakni adil, dan tidak ada persoalan lebih lanjut: adil yang bagaimana? Sebaliknya, Syahrur menafsirkan secara baru, bahwa tuqsithu adalah sikap adil dalam suatu/satu sisi, sedangkan ta’dilu sikap adil di antara dua sisi.

Dari analisis atas makna mufradat kata-kata kunci (key words) QS al-Nisa’[4]: 3 itulah, maka Syahrur menerjemahkan ayat tersebut dalam versi baru sebagai berikut: “Jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah para janda (ibu dari anak-anak yatim itu) sebanyak dua, tiga, atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak bisa adil terhadap, tidak kuasa memelihara, anak-anak yatim mereka (para janda yang kamu nikahi), maka cukuplah bagimu satu istri saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim [karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim].” 

Jadi, berbeda dengan konstruksi klasik maupun modern, Syahrur berpendapat bahwa poligami sah dan boleh-boleh saja, asal dengan dua syarat: pertama, ada perasaan khawatir tidak bisa bertindak adil terhadap anak-anak yatim; kedua, istri kedua dan seterusnya (maksimal 4) adalah janda (al-armalah, al-aramil), dan terutama lagi adalah janda yang memiliki anak-anak kecil (belum dewasa); ketiga, harus bisa berbuat adil kepada anak-anak yatim yang dibawa oleh para janda tersebut juga kepada anak-anaknya sendiri (dari istri pertama). Jika salah satu saja dari ketiga syarat itu yang tidak terpenuhi, maka, kata Syahrur, poligami menjadi gugur dan terlarang.

Konteks Logis
Pertanyaan pentingnya, mengapa—dengan dasar konstruksi tafsir itu—Syahrur mengajukan tiga syarat tersebut, dan ketiga-tiganya musti dipenuhi? Syahrur beralasan, bahwa ini terkait dengan konteks logis dalam perintah poligami dalam ayat tersebut. Konteks logis ini,  tentu saja, terkait erat dengan metode Syahrur tentang analisis sintagmatis, bahwa makna suatu kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Konteks logis pertama bersifat tematik. Di ayat sebelumnya (QS al-Nisa’: 2), Tuhan berbicara tentang santunan terhadap anak yatim, dengan titik tekan perintah untuk memberikan hak-hak mereka (baca: mengembalikan harta mereka saat dewasa), serta larangan mencampuraduk antara yang buruk dengan yang baik, mencampur antara harta pribadi dan harta anak yatim yang ada dalam pengasuhan kita. Intinya, bahwa kita harus bertindak adil (al-qisth) terhadap anak-anak yatim. Mengurangi hak milik anak yatim, mencampur harta kita dengan harta mereka dan mengkonsumsinya secara semrawut, adalah suatu ketidakadilan, suatu kesalahan/dosa besar (huban kabira). Karena konteksnya adalah santunan terhadap anak yatim itulah, maka, menurut Syahrur, perintah poligami dalam QS al-Nisa’: 3 tidak berdiri sendiri, melainkan dikaitkan dengan masalah menyantuni anak yatim. Sehingga, jelas sekali tesis Syahrur: jika tiada kekhawatiran berlaku tidak adil kepada anak yatim, ya tidak usah poligami; atau, setelah poligami (dengan janda pemilik anak yatim) ternyata tidak bisa berlaku adil di antara anak dari istri pertama dengan anak yatim yang dibawa istri kedua dst, ya juga tidak usah poligami; cukup beristri satu saja.

Konteks logis berikutnya bersifat lingusitik. Perintah poligami dalam ayat tersebut ber-shighat al- syarth, kalimat syarat, yakni melalui konstruksi in-fa, jika-maka, wa in khiftum.. (jika kamu merasa khawatir…), fa inkihu… (maka nikahilah olehmu…). Karena bentuknya kalimat syarat, maka seakan-akan kalimat tersebut berbunyi: “… maka nikahilah olehmu wanita yang baik, dua, tiga, empat… (fa inkihu ma thaba lakum min al-nisa’ matsna wa tsulatsa wa ruba’), dengan syarat: … jika kamu merasa khawatir tidak bisa berlaku adil kepada anak-anak yatim (in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama…). Kata wa (hurf wawu) dalam wa in khiftum adalah ma’thufah, yakni masih terkait erat dengan frasa sebelumnya (ayat 2), yang berbicara tentang hak anak yatim. Oleh karenanya, maksud dari “tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim” (an la tuqsithu fi al-yatama) di ayat 3 adalah “mengabaikan hak-hak anak yatim dan mencampur aduk antara harta pribadi dan harta anak yatim” (ayat 2). Sehingga, makna kata al-yatama dalam ayat 3 itu, menurut Syahrur, bukanlah “perempuan-perempuan yatim yang kamu nikahi” (sebagaimana konstruksi tafsir klasik-konservatif), melainkan anak yatim dalam pengertian umum: baik lelaki maupun perempuan, yang kehilangan ayah (faqidu al-ab), serta belum dewasa (masih kanak-kanak).

Kemudian, masih dari sisi linguistik, dalam ayat 3 tersebut ada dua kata, yakni tuqsithu (dari al-qisth) dan ta’dilu (dari al-‘adl), yang secara umum sama-sama dimaknai “berlaku adil”—sebagaimana sudah terpapar di atas dalam elaborasi Syahrur. Kata tuqsithu muncul terkait dengan syarat poligami (fa inkihu), sedangkan ta’dilu terkait dengan konsekuensi setelah poligami (matsna wa tsulats wa ruba’).  Dalam analisis Syahrur, pengertian qisth itu adalah keadilan yang berada dalam satu sisi (saja), sedangkan ‘adl adalah keadilan yang terdiri dari dua sisi. Namun, sekali lagi ditekankan, bahwa keadilan ini, baik yang sebagai makna dari al-qisth maupun al-‘adl, hanya terkait dengan masalah perhatian terhadap anak yatim. Dari sinilah, kemudian disimpulkan Syahrur, al-qisth adalah bertindak adil kepada anak-anak yatim saja (satu sisi), dengan memenuhi hak-hak mereka dari kanak-kanak hingga dewasa, tidak mencampur harta pribadi dengan harta mereka; sedangkan al-‘adl adalah berlaku adil kepada anak-anak kita sendiri dan anak-anak yatim (dua sisi). Karena dipahami al-qisth (teks: an la tuqsithu, “kamu tidak bisa bertindak adil”) sebelum poligami—sebagai syaratnya, lalu al-‘adl (teks: an la ta’dilu, “kamu tidak bisa bertindak adil) sesudah poligami—sebagai akibat atau dampaknya (dikarenakan kerepotan mengurus anak banyak), maka kemudian dipahami secara logis bahwa yang dimaksud al-nisa’ dalam ayat tersebut, yang menjadi istri kedua dst (maksimal 4), adalah al-armalah, al-aramil, yakni ibu dari anak-anak yatim tadi, alias janda beranak.
Hal itu didukung pula oleh struktur linguistik lain dalam ayat tersebut, yakni adanya kata “an la ta’ulu”.
Dalam tradisi orang Arab, kata ini berasal dari ‘ala-ya’ulu, yang memiliki arti katsrah al-‘iyal, terlampau banyak anak. Analisis alamiah-logisnya, karena istri kedua dan seterusnya adalah para janda yang membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil, maka menimbulkan kerepotan dan kepayahan bagi si suami (pelaku poligami), sehingga akan berpotensi melahirkan sikap tidak adil, “an la ta’dilu”, terhadap baik anak dari istri pertama maupun istri kedua dst (dua sisi). Untuk menghindari sikap sedemikian, yakni sikap tidak adil kepada anak sendiri dan anak yatim (dua sisi), cara yang paling praktis adalah monogami, cukup satu istri saja, “fa wahidatan”. Dengan hanya memperistri satu perempuan, seseorang (lelaki) akan terhindar dari kemungkinan banyak anak, “an la ta’ulu”. Sebab, banyak anak (katsrah al-‘iyah)—jika tidak memiliki kemampuan mengurus (utamanya secara finansial)— akan berpotensi melahirkan sikap tidak adil di antara anak-anak.
***
Hemat penulis, tafsir Syahrur atas ayat poligami itu sangatlah menarik. Bukan saja karena ia memiliki suatu nilai dobrak di dalam ranah fikih, lebih dari itu karena ia memberi suatu wawasan dan sudut pandang baru dalam memahami ajaran poligami Islam. Bahwasanya, poligami hendaknya tidak semata-mata didasari oleh motif pemenuhan kebutuhan biologis yang menggelora, sehingga seakan-akan hanya berkaitan dengan seks. Lebih dari itu, poligami adalah ajaran yang berdimensi sosial, sehingga seyogianya praktik poligami diorientasikan terutama dalam rangka menanggulangi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, wabil khusus yang terkait dengan masalah nasib anak yatim dan janda. Wallahu a'lam.(*)

Tidak ada komentar: