Solusi Holistik
Tesis Syahrur tentang poligami sesungguhnya bisa menjadi inspirasi
idealisme tentang perlu terwujudnya maslahat yang bersifat komprehensif
dan holistik dalam konteks kehidupan anak-anak yatim dan ibu-ibu mereka.
Yakni, suatu maslahat yang bukan semata-mata terkait dengan kepentingan
bendawi/materi anak-anak yatim, tetapi juga ibu-ibu mereka (janda),
baik itu mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Selama ini, dengan dasar pemahaman klasik atas ayat-ayat tentang
santunan terhadap anak yatim, dan utamanya atas QS al-Nisa’: 2 itu,
perhatian terhadap nasib anak yatim hanya bersifat karitatif. Artinya,
praktiknya lebih didasari oleh motif kepedulian dan kesetiakawanan
sosial, yang sifatnya tidak lebih dari sekadarnya, seikhlasnya, dan
sebatas kemampuan, sehingga kurang efektif bagi perubahan nasib
anak-anak yatim. Betapa pun, seseorang itu, sekaya dan sepeduli apa pun,
secara naluriah akan lebih memerhatikan urusan dan kepentingan anak
sendiri daripada anak orang lain (yatim). Adanya lembaga-lembaga sosial
seperti panti asuhan yatim (PAY) dan sejenisnya, memang cukup membantu
penanganan anak yatim secara lebih terorganisir. Akan tetapi,
eksistensinya juga sangat bergantung pada dana dari donatur yang,
lagi-lagi, bersifat karitatif tadi. Sehingga, tetap saja keberadaan dan
aktivitas lembaga semacam itu tetap kurang berpengaruh secara signifikan
bagi perubahan nasib anak-anak yatim sedemikian hingga sejajar dengan
anak-anak lain (non-yatim).
Syahrur mengusung tafsiran baru, bahwa Tuhan sesungguhnya menghendaki
agar perhatian terhadap nasib anak yatim diimplementasikan dengan cara
sekaligus menikahi ibu-ibu mereka (al-aramil), dengan syarat:
berbuat adil kepada semua anak (kandung maupun tiri). Tesis ini, jika
dilaksanakan, akan menjadi suatu solusi sosial terhadap masalah anak
yatim (dan janda, ibu-ibu mereka) secara holistik. Pertama,
bahwa ada jaminan finansial atas nafkah anak-anak yatim tersebut
menyangkut seluruh hajat hidup mereka (pangan, sandang, kesehatan,
pendidikan, dll), sehingga mereka bisa mengakses dan menikmati semua hak
hidup selayaknya anak-anak lain (baca: anak-anak dari istri pertama)
secara lebih memadai dan maksimal.
Kedua, selain jaminan finansial, juga ada jaminan
immaterial, utamanya secara sosial dan psikologis. Ada kecenderungan di
banyak kawasan, anak-anak yatim hidup menggelandang di jalanan. Dengan
direngkuh sebagai bagian dari suatu keluarga (karena ibu mereka
dinikahi), anak-anak yatim akan kembali ke rumah, sehingga ada proteksi
sosial. Lebih dari itu, kebutuhan mereka yang tak kalah penting adalah
yang bersifat kejiwaan. Misalnya, yang utama, di masa perkembangan. Hal
mana, anak-anak yatim juga butuh figur ayah. Dengan dinikahinya ibu
mereka, kebutuhan akan figur ayah teratasi.
Ketiga, meskipun dalam tafsir Syahrur tidak ditekankan
adanya sikap adil pelaku poligami terhadap para istrinya—karena keadilan
hanya diperuntukkan bagi anak-anak yatim, namun tawaran tersebut tetap
memberi dampak positif terhadap keberadaan janda. Jika kebetulan janda
itu miskin, kini dengan dinikahi menjadi ada jaminan finansial bagi
nafkah hidupnya. Selain finansial, ada juga jaminan sosial, yakni
adanya figur pelindung, kepala keluarga, yang akan memimpin arah
hidupnya serta menjaganya dari marabahaya dan kejahatan yang mungkin
menimpa. Lebih penting lagi, betapa pun juga, para janda, apalagi jika
masih dalam usia-uisa produktif, juga memiliki kebutuhan seks
(biologis). Dengan mereka dinikahi, kebutuhan biologis mereka akan
terpenuhi, sehingga menepis peluang mereka terjebak dalam tindak
perzinahan (fahisyah). Meskipun, sekali lagi, Syahrur
menekankan bahwa keadilan terhadap mereka (termasuk dalam soal seks,
tentunya) bukan sesuatu yang prinsip.
Keadilan vs Banyak Anak
Syahrur, sebagaimana Imam Syafi’i di masa lalu juga pernah mengintrodusir, menegaskan bahwa “dzalika adna an la ta’ulu” dalam QS al-Nisa’: 3 itu (dari ‘ala-ya’ulu) bisa dimaknai “Itulah (monogami) jalan yang terbaik agar kalian tidak terlampau banyak anak” (katsrah al-‘iyal). Frasa tersebut sebagai kelanjutan dari frasa sebelumnya, yakni, “wa in khiftum an la ta’dilu fa wahidatan aw ma malakat aimanukum”, artinya (versi Syahrur): jika kamu khawatir tidak
bisa berbuat adil kepada anak-anakmu (baik yang kandung maupun yang
bawaan janda), maka dari itu nikahilah satu saja (monogami), atau
budak-budak yang kamu miliki. Logika dari pernyataan ini sangat
jelas. Yakni, bahwa dengan hanya satu istri (monogami), anak-anak yang
ditanggung nafkahnya jauh lebih sedikit. Sebaliknya, jika memiliki
banyak istri (poligami), dan masing-masing istri membawa dan/atau
memiliki anak, tentunya akan semakin besar beban suami (pelaku poligami)
untuk menafkahi anak-anaknya. Beratnya beban menafkahi inilah yang
berpotensi melahirkan sikap tidak adil (an la ta’dilu) seorang ayah terhadap anak-anaknya.
Sampai di sini, seakan-akan dinyatakan, bahwa monogami, sebagaimana tersirat dalam frasa fa wahidatan (nikahilah satu perempuan saja), adalah cara terbaik, praktis (adna)
untuk menghindarkan diri dari kemungkinan perilaku tidak adil dalam
menafkahi anak-anak. Dasarnya adalah premis di atas: banyaknya anak (katsrah al-‘iyal)
berpotensi memunculkan ketidakadilan (dalam menafkahi mereka),
sedangkan sedikitnya anak akan lebih menopang terwujudnya keadilan
(dalam menafkahi mereka). Dengan kata lain pula, dalam konteks al-Nisa’:
3 itu, ada suatu klausul penting yang hendak diteguhkan: bahwa kalau
kamu ingin terhindar dari “an la ta’dilu” (sikap tidak adil di antara anak-anak), maka “la ta’ulu” (janganlah terlampau banyak anak); namun sebaliknya, jika memang merasa bisa “an ta’dilu” (berbuat adil terhadap anak-anak), maka silakan saja “an ta’ulu” (perbanyak anak).
Keluarga Berencana
Tesis tersebut, dalam skala tertentu, sesungguhnya bisa menjadi
pendasaran tentang pentingnya program pengaturan kelahiran, pengendalian
populasi, atau KB (Keluarga Berencana), demi menciptakan keluarga yang
berkualitas, baik di ranah pribadi (unit keluarga) maupun (baca:
apalagi) kenegaraan. Di ranah pribadi (keluarga), tesis Syahrur bahwa
banyak anak justru berpotensi melahirkan ketidakadilan (dalam
menafkahi), tak pelak menjadi antitesis terhadap adagium klasik yang
dulu (mungkin sampai sekarang masih) dianut para orangtua bahwa “banyak
anak banyak rezeki”. Adagium itu barangkali betul, tetapi hanya jika
ditambah dengan kata-kata lain, menjadi “banyak anak banyak rezeki yang
harus dicari”. Dengan banyaknya anak, orangtua musti mencari dan
menganggarkan nafkah lebih besar bagi seluruh buah hatinya, menyangkut
segala hajat mereka dari kecil hingga dewasa (mandiri): sandang, pangan,
pendidikan, kesehatan, dll.
Bagi kalangan menengah ke atas, apalagi yang kategori “the have”,
mungkin soal nafkah ini tidak jadi persoalan, sehingga potensi berlaku
tidak adil bisa diminimalisir. Tetapi bagi kalangan menengah ke bawah,
apalagi keluarga pra-sejahtera, yang taraf perekonomiannya pas-pasan,
soal pernafkahan anak-anak ini tentu masalah yang serius dan acap kali
krusial. Dampaknya adalah apa yang disinyalir dalam tesis Syahrur tadi,
yakni ketidakadilan terhadap anak-anak. Ketidakadilan ini bisa
diteropong dari dua sisi, eksternal dan internal.
Secara eksternal, maksudnya ketika dibandingkan dengan keluarga lain
yang dalam soal nafkah tidak begitu jadi masalah, jelas ada kesenjangan;
keluarga dengan anak lebih banyak, apalagi taraf ekonominya juga
menengah ke bawah, aksesnya atas keterpenuhan hajat-hajat hidup yang
dasariah sangat minimal. Sedangkan secara internal, karena banyaknya
anak yang jadi tanggungan, menjadikan distribusi nafkah kurang memadai,
kurang proporsional, atau malah tidak merata, di antara para anak.
Inilah wujud dari ketidakadilan itu. Ketidakadilan akan makin nyata
ketika banyaknya anak itu berbenturan dengan faktor usia dan kemampuan
orangtua. Ketika orangtua masih di usia-usia produktif, distribusi
nafkah banyak tersedot untuk hajat anak-anak yang lebih besar. Ketika
orangtua sudah tidak produktif, dan (padahal) masih tersisa anak-anaknya
yang belum mandiri (dewasa), maka, ironisnya, mereka tidak mendapatkan
hak-haknya terpenuhi seperti kakak-kakaknya.
Jika dibagankan ke dalam ranah kenegaraan, tesis Syahrur semakin
menguatkan asumsi dasar bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tidak
terkendali—artinya secara kuantitatif melampaui batas, akan melahirkan
problem-problem krusial di suatu negara dalam bidang sosial-ekonomi.
Yang paling kentara adalah ketidakadilan. Hak-hak warga negara untuk
hidup secara layak, dengan tingkat kesehatan dan pendidikan yang
memadai, misalnya, tidak bisa terpenuhi secara maksimal dan merata
karena keterbatasan anggaran negara. Tidak kalah krusial adalah volume
ketersediaan lapangan kerja, pangan, cadangan energi (sumber daya alam),
dsb, misalnya, yang tidak sebanding dengan tuntutan kebutuhan penduduk;
tuntutannya jauh lebih besar karena populasi yang tidak terkontrol.
Dikatakan ketidakadilan, karena tidak merata dan tidak proporsional. Ada
warga yang memperoleh hak-haknya (dalam bidang sosial, ekonomi, dst)
itu, bahkan secara melimpah-ruah dan berlebihan, tetapi di sisi lain ada
yang hanya memperoleh sekadarnya saja, atau bahkan tidak sama sekali.
Dalam kondisi demikian, sekali lagi dalam kaitan dengan tafsir
Syahrur, setidaknya ada dua pihak yang paling pantas disalahkan atau
memikul dosa terbesar. Pertama, tentu saja adalah negara. Sudah
seharusnya populasi penduduk diatur dan dikendalikan sedemikian rupa
oleh negara, agar penduduk tumbuh secara seimbang. Artinya, bagaimana
pertumbuhan itu kurang lebih berbanding lurus dengan kemampuan negara
dalam memenuhi seluruh hajat hidup penduduk di segala bidangnya, dalam
rangka menghampirkan mereka pada kesejahteraan. Jika yang terjadi adalah
sebaliknya, yakni pertumbuhan penduduk justru tidak terkontrol,
sehingga mendampakkan ketidakadilan di segala bidang sebagaimana
disebutkan di atas, maka kesalahan terbesar ada pada negara, persisnya
para pengambil kebijakan (legislatif dan eksekutif), yang mana dalam
mengatur tata-kelola pemerintahan tidak berpijak pada wawasan
kependudukan.
Kedua, orang-orang dengan besaran keluarga di atas
rata-rata, atau persisnya orang-orang yang beranak banyak. Dalam skala
nasional (negara), keluarga beranak banyak secara tidak langsung
merupakan warga negara yang paling berkontribusi dalam membengkaknya
jumlah penduduk. Sementara, dalam sekala individual (pribadi, personal),
orang atau keluarga beranak banyak adalah pihak yang paling banyak
mengambil haknya, atau setidaknya di atas rata-rata, tertutama jika
dibandingkan dengan orang kebanyakan yang justru besaran keluarganya
sedikit (baca: anaknya tidak banyak)—sehingga hak-hak yang mereka raih
juga lebih sedikit. Altruisme modern mengajarkan, bahwa “siapa yang
mengambil lebih, maka ada orang lain yang kekurangan.” Parahnya adalah
ketika ada tren di mana kalangan menengah ke atas punya kecenderungan
untuk memiliki besaran keluarga yang lebih banyak (baca: banyak anak).
Kecenderungan ini muncul ketika kaum kaya, yang umumnya bermukim di
perkotaan, dikarenakan taraf perekonomiannya yang lebih tinggi, merasa
mampu untuk menafkahi kebutuhan anak dalam jumlah banyak. Padahal,
justru di situlah letak persoalannya. Kalangan menengah ke atas, kaum
kaya, karena dukungan kapital yang mereka miliki, adalah kelompok yang
paling punya kans, peluang, kesempatan, yang lebih besar dalam hal
keterpenuhan hak-hak mereka dalam bidang pendidikan, kesehatan, lapangan
kerja, sumber daya alam (energi), dst, dibanding kalangan menengah ke
bawah. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konsep altruisme modern di
atas, sang “pengambil lebih” itu adalah kalangan menengah ke atas
dengan keberlimpahan kapitalnya (dan apalagi mereka beranak banyak),
sedangkan “orang lain yang kekurangan” adalah kalangan menengah ke bawah
dengan keterbatasan materi kapitalnya (dan apalagi besaran keluarga
mereka hanya sedikit).
“Banyak Anak” yang Berdimensi Sosial
Terlepas dari soal besaran keluarga, ataupun soal prinsip dasar
tentang keharusan berbuat adil kepada anak-anak, tafsir Syahrur bahwa
banyak anak (katsrah al-‘iyal)—yang memungkinkan potensi
sikap tidak adil itu—disebabkan oleh praktik poligami dengan
janda-janda yang beranak kecil, secara tidak langsung menegaskan suatu
wawasan penting lain tentang pentingnya kesehatan reproduksi—yang
belakangan ini sedang marak dikampanyekan, bahwa kaum perempuan
seharusnya jangan dibebani dengan banyaknya persalinan (banyak anak).
Keinginan memperbanyak anak tidaklah diwujudkan dengan memforsir istri
(pertama) untuk melahirkan sebanyak mungkin anak sesuai keinginan kita.
Sebaliknya, ia direalisasikan dengan cara mempoligami janda-janda yang
memiliki anak-anak kecil. Besaran anak-anak kita (baca: sang pelaku
poligami) menjadi banyak bukan semata-mata dari persalinan istri
pertama, tetapi karena ditambah dengan anak-anak yang dibawa oleh istri
kedua dst yang nota bene janda.
Namun, di sisi lain, formulasi tersebut seperti menegaskan suatu cara
pandang baru tentang konsep atau ambisi “banyak anak”, bahwa hendaknya
ia tidak dilandasi oleh sikap egositik-individualistik, tetapi
sebaliknya, berwatak sosial, yakni dilandasi sikap kepedulian untuk
memberi dan menyantuni. Ketika seseorang memperbanyak anak dari garis
biologisnya sendiri, dan ia berfokus untuk hanya menafkahi kebutuhan
mereka semuanya—karena ia merasa mampu secara finanasial, maka itu
merupakan sikap egoistik-individualistik, meski hal itu sesuatu yang
manusiawi. Akan tetapi, ketika seseorang merengkuh anak-anak yatim
menjadi satu keluarga, dengan cara menikahi ibu-ibu mereka (atau mungkin
dengan cara lain), lalu menafkahi semua anak-anak tersebut secara adil,
maka hal itu menyiratkan suatu sikap sosial yang tinggi, dan menurut
Syahrur itulah cara untuk merealisasikan ajaran Tuhan secara sempurna (min tanfidz amr Allah kamilan). Wallahu a’lam. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar