Pada hari kematian bibi, persisnya Rabu sore di akhir bulan Maret
2016, saya sempatkan diri pulang kampung untuk takziyah. Ketika sampai di Yogya
sebenarnya berempat; saya, adik ipar saya, ibu mertua, dan satu lagi seorang ibu-ibu,
yang nota bene tetangga mertua saya itu. Hari itu, mereka (ibu mertua dan
tetangganya) akan mengikuti pesantren lansia di masjid Gua Hira, lokasinya di
Kalirandu, Bangunjiwo, Kasihan Bantul. Yang mengadakan even unik itu adalah
Ustaz Anant, sosok kyai seniman yang sudah sangat saya kenal.
Sesudah ibu mertua dan tetangganya itu saya antar ke lokasi,
perjalanan ke Kebumen pun hanya tinggal berdua, saya dan adik ipar. Saya baru
dalam taraf belajar untuk menaiki kendaraan roda empat. Saya menyupir pelan
sekali. Dari Bantul jam setengah lima sore, sampai Kutoarjo sudah hampir isyak.
Sesampai di Kutowinangun, kami berniat salat. Cukup lama mencari, hingga
akhirnya ada sebuah masjid di kiri/selatan jalan. Masjidnya sendu sekali.
Jam-jam sepetang itu sudah sepi jamaah. Warna cat temboknya hijau muda.
Bangunannya lumayan besar dan dua lantai. Tetapi, agaknya yang untuk salat bangunan
lantai duanya, sedangkan lantai bawah untuk kegiatan TPA dan perkantoran
yayasan. Kami salat di emperan lantai bawah, jamak magrib dan isyak.
Sehabis salat, lapar dan haus agak menghimpit. Kebetulan tepat di
depan masjid ada warung kecil, yang agaknya menyediakan minuman dan makanan
ringan. Saya mengajak adik saya mampir, dan dia mau. Dan benar saja, penjualnya
mengatakan ada aneka minuman panas dan hangat yang bisa dipesan. Ada juga
gorengan yang tinggal beberapa biji itu, yang tampak berminyak sekali.
Sang pemilik warung agak nyentrik menurut saya. Ia tidak memakai
baju, hanya sarungan bermotif kotak-kotak sekadarnya. Itu pun sarung yang
lusuh, selusuh peci hitam di kepalanya yang mungkin sudah berkali-kali kena air
ketika wudhuk. Kulit tubuhnya hitam, layaknya terbakar matahari. Tetapi, kesan
saya, ia sangat bersahaja, itu tecermin dari tutur katanya yang sopan, rendah
hati, dan yang jelas lagi ia murah senyum. Saya tidak tanya siapa namanya.
Duduk di samping kami, seorang lelaki asing (tentu saja, baru kali
ini kami bertemu). Usianya mungkin menjelang tigapuluhan, atau mungkin lebih
dari tiga puluh. Ia memakai topi, tepatnya kethu, ala Bob Marley, demi menutupi
rambutnya yang gondrong. Celana jeans-nya dilinting hingga menjelang lutut,
kaos oblong yang dipakainya sudah sangat lusuh. Ada tas pinggang kecil
melingkar di perutnya yang langsing. Satu lagi yang menurut saya nyentrik: ia
membawa seplastik besar berisi tembakau, klembak, menyan, kertas sigaret. Saat
itu pun dia sedang asyik melinting rokoknya, “ting-we” (nglinting dhewe).
Sepintas, orang yang melihatnya kali pertama mungkin akan menyangka lelaki ini
gelandangan atau anak jalanan. Saya jadi ingat, saya sepertinya berpapasan
dengan lelaki ini di tempat wudhuk tadi. Pikiran saya juga suuzhan jadi: “Ini
orang kok tampangnya kayak berandalan.” (Astaghfirullah…)
Saya pun cuek saja. Tetapi, adik saya memberanikan diri bertanya siapa
dia, dan mau kemana? Dia tersenyum simpul dan dengan lirih menjawab bahwa
namanya Suwandi. Rumahnya Kediri, Jatim, tidak jauh dari Pesantren Lirboyo.
(Lirboyo? Hehe, saya jadi ingat, salah satu kyai saya di pesantren dulu, juga
lulusan Lirboyo. Beliau adalah alm. Kyai Sahil Abdurrouf al-maghfur lah…)
Sebelum kami bertanya lebih jauh, si pemilik warung yang telanjang
kaki telanjang dada itu seperti apa yang
hendak kami tanyakan. Katanya, “Dia musafir. Dia dari barat, baru sampai ke
sini petang menjelang magrib tadi. Dia memulai perjalanan dari Kediri, lalu
menuju utara, menyusuri Pantura, sampai ke Cirebon, terus ke timur lagi
melewati jalan ini (Jala Raya Kebumen-Jogja). Jalan kaki.”
Makjleb! Jalan kaki??!! Saya memandang Suwandi, seakan-akan mengkonfirmasi
cerita pemilik warung. Dia hanya mengangguk pelan.
Dalam hati, saya hanya heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin
Suwandi bisa melakukan hal itu. Saya jadi berpikiran ia tentu bukan orang “sembarangan”,
setidaknya ia orang yang kuat kemauan, selain juga kuat secara fisik. Bayangkan
saja: menempuh perjalanan kaki ratusan kilometer, atau mungkin lebih dari
seribuan kilometer, hanya berbekal sekadarnya saja, selebihnya tawakal kepada
Allah. Setahu saya, dan sejauh yang pernah saya baca, hanya kaum sufi di masa
lalu yang punya lelaku dan riyadah seperti itu. Andai sekarang ada, mungkin itu
pelaku tarekat. Tetapi satu hal yang jelas, baik para sufi atau penganut
tarekat, untuk melakukan lelaku fisik yang berat seperti itu mereka memiliki
motif dan tujuan, baik secara internal maupun eksternal.
Saya masih suntuk bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan sendiri,
ketika si penjual minuman melanjutkan pembicaraannya, mungkin lebih tepat
kisah-kisahnya. Ada beberapa hal menarik yang saya tangkap dari cerita-ceritanya
itu. Pertama, bahwa secara umum para musafir pejalan kaki itu berasal dari Jawa
Timur. Rute yang ditempuh adalah mengelilingi pula Jawa, meski ada juga yang
bahkan keliling Indonesia. Kedua, rerata mereka melakukan perjalanan mahaberat
itu bukan karena kemauan sendiri, tetapi karena diperintah, di-dhawuhi, oleh
kyai atau gurunya di pesantren. Selama perjalanan, mereka diminta untuk
berziarah ke makam-makam para wali sepanjang rute yang mereka lalui. Mereka tidak
boleh membawa bekal apapun kecuali tawakkal kepada Allah saja; hanya boleh
jalan kaki, tidak boleh meminta-minta, tetapi tidak boleh menolak jika ada yang
memberi. Hanya saja, jika ada yang menawari tumpangan, ojek, dll, harus
ditolak. Tidak boleh berbuat maksiat (misal, mencuri, ghasab, dll). Salat juga
harus di masjid yang mereka lalui. Jika pantangan-pantangan ini dilanggar, maka
lelaku tersebut batal dan harus diulang dari awal.
Ketiga, dan ini yang membuat saya heran, bagaimana si penjual
minuman depan masjid ini tahu banyak tentang seluk-beluk riyadah dan lelaku
semacam itu? Saya belum sempat bertanya tentang hal itu, ketika dia justru
melanjutkan ceritanya, bahwa setiap musafir pejalan kaki macam itu selalu
singgah untuk salat di masjid tersebut dan selalu menginap (menjadi tamu) di
rumah kecilnya yang lokasinya berdampingan dengan warungnya itu. Lama
bertamunya antara satu hingga tiga hari. Setiap seorang musafir pamit hendak
melanjutkan perjalanan, mereka biasanya memberi cinderamata berupa batu mulia,
kertas berisi doa-doa, bahkan benda-benda aneh dan unik seperti “pring pethuk”
dan sejenisnya. Wal akhir saya jadi bertanya, kok bisa masjid tersebut beserta
sang penjual minuman itu seperti menjadi langganan transit bagi setiap musafir
pejalan kaki yang lewat di jalur tersebut: untuk salat dan menjadi tamu?
Padahal, belum tentu ada kesepakatan di antara para musafir untuk singgah di
situ. Jadi, mungkinkan ada semacam plot atau rancangan dari Gusti Allah agar
para pejalan kaki itu transit di situ? Makjleb, saya jadi punya kesimpulan
sendiri, ini masjid bukan masjid sembarangan; ini penjual minuman bukan orang
sembarangan (di dalam pandangan Allah)…! Weeelah… J
Ketika perut sudah agak enak (kenyang) dan haus telah lenyap, kami
putuskan pamit. Adik saya pun mengatakan total makanan dan minuman yang kami
santap, lalu penjual minuman itu mentotal berapa yang harus saya bayar. Tidak
banyak ternyata habisnya, standar saja. Setel
Tetapi, serta-merta sang penjual nyentrik itu menjawab, “Oh, tidak
usah, Pak. Wong dia akan membantu saya menghabiskan makanan di sini, kok.”
Makjleb! Jawaban yang keluar dari mulutnya itu bukan hanya menohok
saya, tetapi punya makna lain yang sangat mendalam. Kata-katanya seakan-akan
beraroma tasawuf. Apakah dia menyadari kata-katanya itu? Benarkah benar-benar
keluar dari mulutnya secara sengaja? Ataukah Tuhan hanya meminjam mulutnya saja
untuk menampar kesombongan saya? Ketika saya hendak menunjukkan keakuan saya
bahwa sayalah yang akan traktir musafir ini, dia malah menghinakan dirinya
bahwa musafir inilah yang akan membantunya…
Saya jadi berpikir, hina sekali saya mampir ke masjid itu dan bertemu dengan penjual minuman di halamannya…