Selasa, 12 Juli 2016

Musafir dari Barat

Pada hari kematian bibi, persisnya Rabu sore di akhir bulan Maret 2016, saya sempatkan diri pulang kampung untuk takziyah. Ketika sampai di Yogya sebenarnya berempat; saya, adik ipar saya, ibu mertua, dan satu lagi seorang ibu-ibu, yang nota bene tetangga mertua saya itu. Hari itu, mereka (ibu mertua dan tetangganya) akan mengikuti pesantren lansia di masjid Gua Hira, lokasinya di Kalirandu, Bangunjiwo, Kasihan Bantul. Yang mengadakan even unik itu adalah Ustaz Anant, sosok kyai seniman yang sudah sangat saya kenal.

Sesudah ibu mertua dan tetangganya itu saya antar ke lokasi, perjalanan ke Kebumen pun hanya tinggal berdua, saya dan adik ipar. Saya baru dalam taraf belajar untuk menaiki kendaraan roda empat. Saya menyupir pelan sekali. Dari Bantul jam setengah lima sore, sampai Kutoarjo sudah hampir isyak. Sesampai di Kutowinangun, kami berniat salat. Cukup lama mencari, hingga akhirnya ada sebuah masjid di kiri/selatan jalan. Masjidnya sendu sekali. Jam-jam sepetang itu sudah sepi jamaah. Warna cat temboknya hijau muda. Bangunannya lumayan besar dan dua lantai. Tetapi, agaknya yang untuk salat bangunan lantai duanya, sedangkan lantai bawah untuk kegiatan TPA dan perkantoran yayasan. Kami salat di emperan lantai bawah, jamak magrib dan isyak.

Sehabis salat, lapar dan haus agak menghimpit. Kebetulan tepat di depan masjid ada warung kecil, yang agaknya menyediakan minuman dan makanan ringan. Saya mengajak adik saya mampir, dan dia mau. Dan benar saja, penjualnya mengatakan ada aneka minuman panas dan hangat yang bisa dipesan. Ada juga gorengan yang tinggal beberapa biji itu, yang tampak berminyak sekali.
Sang pemilik warung agak nyentrik menurut saya. Ia tidak memakai baju, hanya sarungan bermotif kotak-kotak sekadarnya. Itu pun sarung yang lusuh, selusuh peci hitam di kepalanya yang mungkin sudah berkali-kali kena air ketika wudhuk. Kulit tubuhnya hitam, layaknya terbakar matahari. Tetapi, kesan saya, ia sangat bersahaja, itu tecermin dari tutur katanya yang sopan, rendah hati, dan yang jelas lagi ia murah senyum. Saya tidak tanya siapa namanya.   

Duduk di samping kami, seorang lelaki asing (tentu saja, baru kali ini kami bertemu). Usianya mungkin menjelang tigapuluhan, atau mungkin lebih dari tiga puluh. Ia memakai topi, tepatnya kethu, ala Bob Marley, demi menutupi rambutnya yang gondrong. Celana jeans-nya dilinting hingga menjelang lutut, kaos oblong yang dipakainya sudah sangat lusuh. Ada tas pinggang kecil melingkar di perutnya yang langsing. Satu lagi yang menurut saya nyentrik: ia membawa seplastik besar berisi tembakau, klembak, menyan, kertas sigaret. Saat itu pun dia sedang asyik melinting rokoknya, “ting-we” (nglinting dhewe). Sepintas, orang yang melihatnya kali pertama mungkin akan menyangka lelaki ini gelandangan atau anak jalanan. Saya jadi ingat, saya sepertinya berpapasan dengan lelaki ini di tempat wudhuk tadi. Pikiran saya juga suuzhan jadi: “Ini orang kok tampangnya kayak berandalan.” (Astaghfirullah…)

Saya pun cuek saja. Tetapi, adik saya memberanikan diri bertanya siapa dia, dan mau kemana? Dia tersenyum simpul dan dengan lirih menjawab bahwa namanya Suwandi. Rumahnya Kediri, Jatim, tidak jauh dari Pesantren Lirboyo. (Lirboyo? Hehe, saya jadi ingat, salah satu kyai saya di pesantren dulu, juga lulusan Lirboyo. Beliau adalah alm. Kyai Sahil Abdurrouf al-maghfur lah…)
Sebelum kami bertanya lebih jauh, si pemilik warung yang telanjang kaki telanjang dada  itu seperti apa yang hendak kami tanyakan. Katanya, “Dia musafir. Dia dari barat, baru sampai ke sini petang menjelang magrib tadi. Dia memulai perjalanan dari Kediri, lalu menuju utara, menyusuri Pantura, sampai ke Cirebon, terus ke timur lagi melewati jalan ini (Jala Raya Kebumen-Jogja). Jalan kaki.”
Makjleb! Jalan kaki??!! Saya memandang Suwandi, seakan-akan mengkonfirmasi cerita pemilik warung. Dia hanya mengangguk pelan.

Dalam hati, saya hanya heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin Suwandi bisa melakukan hal itu. Saya jadi berpikiran ia tentu bukan orang “sembarangan”, setidaknya ia orang yang kuat kemauan, selain juga kuat secara fisik. Bayangkan saja: menempuh perjalanan kaki ratusan kilometer, atau mungkin lebih dari seribuan kilometer, hanya berbekal sekadarnya saja, selebihnya tawakal kepada Allah. Setahu saya, dan sejauh yang pernah saya baca, hanya kaum sufi di masa lalu yang punya lelaku dan riyadah seperti itu. Andai sekarang ada, mungkin itu pelaku tarekat. Tetapi satu hal yang jelas, baik para sufi atau penganut tarekat, untuk melakukan lelaku fisik yang berat seperti itu mereka memiliki motif dan tujuan, baik secara internal maupun eksternal.

Saya masih suntuk bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan sendiri, ketika si penjual minuman melanjutkan pembicaraannya, mungkin lebih tepat kisah-kisahnya. Ada beberapa hal menarik yang saya tangkap dari cerita-ceritanya itu. Pertama, bahwa secara umum para musafir pejalan kaki itu berasal dari Jawa Timur. Rute yang ditempuh adalah mengelilingi pula Jawa, meski ada juga yang bahkan keliling Indonesia. Kedua, rerata mereka melakukan perjalanan mahaberat itu bukan karena kemauan sendiri, tetapi karena diperintah, di-dhawuhi, oleh kyai atau gurunya di pesantren. Selama perjalanan, mereka diminta untuk berziarah ke makam-makam para wali sepanjang rute yang mereka lalui. Mereka tidak boleh membawa bekal apapun kecuali tawakkal kepada Allah saja; hanya boleh jalan kaki, tidak boleh meminta-minta, tetapi tidak boleh menolak jika ada yang memberi. Hanya saja, jika ada yang menawari tumpangan, ojek, dll, harus ditolak. Tidak boleh berbuat maksiat (misal, mencuri, ghasab, dll). Salat juga harus di masjid yang mereka lalui. Jika pantangan-pantangan ini dilanggar, maka lelaku tersebut batal dan harus diulang dari awal.

Ketiga, dan ini yang membuat saya heran, bagaimana si penjual minuman depan masjid ini tahu banyak tentang seluk-beluk riyadah dan lelaku semacam itu? Saya belum sempat bertanya tentang hal itu, ketika dia justru melanjutkan ceritanya, bahwa setiap musafir pejalan kaki macam itu selalu singgah untuk salat di masjid tersebut dan selalu menginap (menjadi tamu) di rumah kecilnya yang lokasinya berdampingan dengan warungnya itu. Lama bertamunya antara satu hingga tiga hari. Setiap seorang musafir pamit hendak melanjutkan perjalanan, mereka biasanya memberi cinderamata berupa batu mulia, kertas berisi doa-doa, bahkan benda-benda aneh dan unik seperti “pring pethuk” dan sejenisnya. Wal akhir saya jadi bertanya, kok bisa masjid tersebut beserta sang penjual minuman itu seperti menjadi langganan transit bagi setiap musafir pejalan kaki yang lewat di jalur tersebut: untuk salat dan menjadi tamu? Padahal, belum tentu ada kesepakatan di antara para musafir untuk singgah di situ. Jadi, mungkinkan ada semacam plot atau rancangan dari Gusti Allah agar para pejalan kaki itu transit di situ? Makjleb, saya jadi punya kesimpulan sendiri, ini masjid bukan masjid sembarangan; ini penjual minuman bukan orang sembarangan (di dalam pandangan Allah)…! Weeelah… J

Ketika perut sudah agak enak (kenyang) dan haus telah lenyap, kami putuskan pamit. Adik saya pun mengatakan total makanan dan minuman yang kami santap, lalu penjual minuman itu mentotal berapa yang harus saya bayar. Tidak banyak ternyata habisnya, standar saja. Setel
ah mendengar cerita panjang lebar tentang para musafir tadi, sungguh tebersit dalam hati untuk membantu Suwandi, meski sedikit. Saya yakin dia tidak akan menolak. Saat akan menyerahkan uang, saya katakan, “Ya sudah, Pak. Sekalian saja Mas Suwandi ini habisnya berapa tadi makanan dan minumannya. Saya traktir.”
Tetapi, serta-merta sang penjual nyentrik itu menjawab, “Oh, tidak usah, Pak. Wong dia akan membantu saya menghabiskan makanan di sini, kok.”

Makjleb! Jawaban yang keluar dari mulutnya itu bukan hanya menohok saya, tetapi punya makna lain yang sangat mendalam. Kata-katanya seakan-akan beraroma tasawuf. Apakah dia menyadari kata-katanya itu? Benarkah benar-benar keluar dari mulutnya secara sengaja? Ataukah Tuhan hanya meminjam mulutnya saja untuk menampar kesombongan saya? Ketika saya hendak menunjukkan keakuan saya bahwa sayalah yang akan traktir musafir ini, dia malah menghinakan dirinya bahwa musafir inilah yang akan membantunya…

Saya jadi berpikir, hina sekali saya mampir ke masjid itu dan bertemu dengan penjual minuman di halamannya…