Belum lama ini saya menyaksikan sebuah film apik bertajuk Zulu(2013), garapan Jerome Salle. Film yang mengambil setting Capetown, Afrika Selatan 2013 ini, mengisahkan perjuangan detektif Ali Sokhela (Forest Whitaker) dan Brian Epkeen (Orlando Bloom) mengungkap sindikat kejahatan narkoba. Ada formula baru narkoba, “Tick”, yang beredar terutama pada orang-orang kulit hitam. Jika dikonsumsi terus-menerus, ia akan mengakibatkan tiga gejala secara bertahap: depresi (penyendiri, ingin bunuh diri), anti sosial, dan destruktif (ingin menyerang dan membunuh). Setelah diselidiki, formula itu ternyata dibuat oleh seorang ilmuwan kulit putih, dan diedarkan oleh sindikat kaum kulit putih rasis (dibantu aparat) kepada warga kulit hitam, terutama di kalangan kanak-kanak dan remaja. Tujuannya tidak lain adalah untuk, secara perlahan-lahan, melenyapkan ras kulit hitam(negro) di Afrika Selatan pasca tumbangnya rezim apartheid di negaraitu.
Dari film tersebut kita belajar, bahwa narkoba (drug) bukan semata-mata persoalan bisnis (yang memang secara ekonomis amat menggiurkan), tetapi bisa juga berkaitan dengan kepentingan atau agenda tertentu yang berskala besar dan mendasar, yang busuk dan berjangka panjang, misalnya melenyapkan generasi suatu bangsa, atau sering disebut “genocida”.
Begitupun halnya dengan HIV/AIDS, di mana tiap 1 Desember (baca: 112) kita menjadikannya sebagai hari peduli AIDS sedunia. Kita kurang tahu persis, apakah virus itu sesuatu yang muncul dan menyebar secara alamiah, ataukah sebaliknya: kemunculan dan penyebarannya “by designed” untuk kemudian secara perlahan menghancurkan umat manusia. Yang jelas, ada fakta tak terbantahkan, bahwa penderita HIV/AIDS semakin hari kian meningkat. Untuk DIY saja, misalnya, angkanya sudah lebih dari 3500-an kasus. Itu saja berdasarkan data resmi di RS, yang dihasilkan dari pemeriksaan atas pasien yang secara sadar memeriksakan diri. Bagaimana dengan yang tidak atau belum memeriksakan diri, baik karena tak tahu atau tahu tetapi masa bodoh? Jadi angka 3500 itu fenomena gunung es.
Hal yang tak kalah mengerikan terkait dengan penyebaran HIV/IDS itu, bukan soal bahwa pasien terbesarnya adalah usia produktif, yakni kisaran usia 20 sd 40 tahun (dan terutama IRT), tetapi kini ada tren virus itu sudah menyasar ke kalangan remaja (usia SMP dan SMA). Jika ini dibiarkan, maka tidak lama lagi kekhawatiran tentang hancurnya generasi bangsa oleh virus ini akan terjadi.
Stigma dan Mitos
Kendala utama kita dalam menangani HIV/AIDS selama ini adalah soal stigma. Ada stigma sosial bahwa AIDS itu penyakit kutukan dari Tuhan untuk manusia asusila. Konon, penyakit ini identik dengan PSK, lelaki hidung belang, pezina, dll. Padahal, nyatanya virus HIV bisa menyasar siapa saja tanpa memandang status dan perilaku. Data terakhir justru menunjukkan, ODHA dari kalangan IRT (ibu rumah tangga) menduduki ranking papan atas, dan berdasar survei terbaru di Asean, 90 persen dari mereka terinveksi HIV/AIDS dari suaminya.
Akibat stigmatisasi ini, penderita mengalami kesulitan untuk hidup normal di tengah masyarakat, karena takut diisolasi.Apalagi kemudian ada mitos bahwa virus ini bisa menular sedemikian rupa. Cuma sedikit orang yang tahu, bahwa virus HIV hanya menular dengan cara-cara tertentu (hubungan seks, jarum suntik, ibu ke janin, ASI, dll). Maka, jalan satu-satunya untuk mencegah isolasi dari masyarakat adalah dengan menyembunyikan status penyakit tersebut. Hanya rumah sakit terlapor dan pasien beserta keluarganya yang tahu. Bahkan di tingkat lini lapangan, petugas di Puskesmas, misalnya, tidak tahu data pasien HIV/AIDS kecuali sebatas angka. Ini semua bertujuan tidak lain untuk menjaga mental pasien (ODHA). Penelitian sudah banyak membuktikan, bahwa kondisi mental sangat berpengaruh bagi penyembuhan penyakit.
Kondisi akibat stigmatisasi seperti itu jelas akan memperburuk mental pasien. Sehingga, kualitas hidupnya pun berkurang, dan itu akan berpengaruh pula pada harapanhidupnya. Kondisi ini diperparah pula dengan mitos bahwa HIV/AIDS itu mematikan. Kalau beberapa tahun lalu, anggapan ini benar. Tetapi, itu anggapan keliru untuk sekarang, ketika dunia medis sudah menemukan formula ARV (anti retro viral). Formula ini berfungsi meningkatkan zat imun (CD4) dalam darah, sehingga virus HIV tidak bisa terdeteksi. Dampaknya, pasien HIV bisa hidup sehat sebagaimana orang normal, punya anak, bekerja, dan bahkan bisa mencapai usia seperti orang sehat pada galibnya. Hanya ada memang ada syaratnya, yakni penderita HIV harus memeriksakan diri sedini mungkin (baca: ketika awal-awal virus tersebut masuk), dan sudi mengonsumsi ARV secepatnya sampai sepanjang hidupnya. Penderita bisa mendapatkan ARV ini gratis, karena pemerintah menganggarkan 11 jutaan rupiah/penderita/tahun.
Masalahnya, banyak orang yang sudah terinfeksi HIV tidak segera memeriksakan diri untuk memastikan bahwa dirinya positif HIV, untuk kemudian mengonsumsi ARV secepatnya. Sebabnya, mungkin, pertama, karena ada masa inkubasi dari virus ini untuk kemudian menjadi AIDS, antara 5 sd 10 tahun, bahkan bisa lebih. Dalam masa inkubasi ini, tidak ada gejala apa pun dalam tubuh seorang yang terinfeksi, tak beda dengan orang normal. Hal inilah yang kemudian menjadikannya merasa nyaman, sehat, tak ada masalah, sehingga tak mau memeriksakan diri. Kedua, kembali ke faktor stigma tadi. Karena stigma yang buruk tentang HIV/AIDS, maka orang justru takut untuk mengetahui status HIV di dalam dirinya, meski mungkin dia sadar dirinya berisiko terinfeksi; dan parahnya dia malah beraktivitas seksual secara normal (tanpa pengaman).
Pentingnya KIE
Menghadapi kenyataan kompleks di atas, maka menjadi kewajiban kita bersama, baik pemerintah, masyarakat, dan LSM, memberikan KIE (konsultasi, informasi, dan edukasi) kepada masyarakat, agar pandangan mereka berubah dan kesadaran mereka tumbuh. Beberapa hal yang mesti diarusutamakan di antaranya: Pertama, bahwa HIV/AIDS adalah penyakit, dan yang namanya penyakit itu musibah yang bisa menimpa kepada siapa saja. Karena musibah, kewajiban kita adalah menguatkan secara sosial, mental, dan spiritual, kepada penderita HIV/AIDS agar bisa hidup secara sehat dan normal.
Kedua, HIV/AIDS tidaklah identik dengan perilaku asusila atau dosa. Fakta membuktikan, bahwa penderita HIV/AIDS dari kalangan PSK justru relatif sedikit, dan sebaliknya, kalangan IRT justru menempati ranking tinggi. Dan, sudah bisa ditebak, mereka (IRT) adalah orang-orang yang baik (salehah), dan mereka terinfeksi dari suaminya. Untuk mencegah dari sikap “menyalahkan korban” (blaming the victim), seyogianya kita hindarkan diri dari secara mutlak mengidentikkan HIV/AIDS dengan perilaku asusila atau dosa.
Ketiga, bahwa HIV/AIDS tidaklah mematikan. Virusnya bisa dilemahkan dengan obat ARV yang diminum selama hidup. Hanya saja, ARV harus diminum di masa-masa awal virus HIV masuk ke tubuh. Jika dikonsumsi ketika sudah masuk fase AIDS, maka menjadi tidak berarti, karena daya imun tubuh sudah telanjur lemah, serta sudah banyak organ tubuh yang rusak akibat virus tersebut (dan berakibat kematian secara lebih cepat).
Oleh karena itu, keempat, menjadi sangat penting untuk memeriksakan diri sedini mungkin bagi kalangan berisiko, misalnya kalangan pekerja seks, pasangan suami istri yang terlibat jalinan LDR (salah satu merantau). Semakin cepat akan semakin baik, jika memang menghargai kehidupan.
Kelima, yang tak kalah penting dan mendasar, menekankan bahwa mencegah lebih penting daripada mengobati. Daripada mengidap HIV/AIDS yang berujung pada kematian lebih cepat, menghadapi stigma buruk publik, atau setidak-tidaknya harus mengonsumsi ARV sepanjang hayat, lebih baik menghindarkan diri dari kemungkinan terinfeksi HIV. Karena cara penyebaran terbanyak virus ini adalah melalui hubungan seks, maka dalam hal ini yang ditekankan adalah pentingnya menghindari seks bebas dan seks pra nikah, serta hanya berhubungan seks dengan pasangan resmi.
Jihad
Di masa lalu, agama mewajibkan kita untuk berjihad menghadapi musuh yang mengancam eksistensi umat. Dalam konteks sekarang, musuh yang mengancam eksistensi kita dan anak cucu kita adalah, satu di antaranya, HIV/AIDS, yang perlahan namun pasti bisa menjadi mesin pembunuh generasi. Maka perjuangan kita memberi wawasan dan kesadaran kepada publik, demi merestorasi mental dan fisik mereka yang sudah terinfeksi, atau mencegah generasi bangsa kita agar tidak terinfeksi, adalah sebuah jihad yang tak kalah mulia dibanding jihad bela agama, bela Nabi, bela kitab suci, atau bela Tuhan sekalipun. Satu nyawa saja yang bisa kita selamatkan, nilainya tak terhingga bagi kemanusiaan, dan bagi Tuhan sang pemilik kehidupan. Alquran mengajarkan: “Siapa yang membunuh jiwa bukan karena ia (korban) membunuh orang lain, bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia (pelaku) telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan satu orang, maka seakan-akan ia memberi kehidupan kepada semua manusia...” (QS Almaidah: 32).Wallahu a’lam.(*)