Senin, 05 Desember 2016

"Membelah" Muhammad, Sang Manusia Nabi

Dalam keyakinan Muslim sepanjang sejarah, Muhammad menduduki posisi yang sangat penting. Dia bukan saja dianggap sebagai manusia penerima wahyu (al-Qur’an), tetapi sekaligus nabi terakhir pembawa risalah Islam. Dalam posisinya sebagai penerima wahyu—yang diyakini berasal dari Tuhan, dia dianggap sebagai manusia yang paling bisa memahami kehendak Tuhan. Sebab, logikanya, Tuhan tidak mungkin memilih secara sembarangan ihwal manusia yang akan menjadi media bagi-Nya untuk menurunkan wahyu (tanzil).
Muhammad dipilih (al-Mushthafa), tentulah karena dia memenuhi syarat, alias punya kapasitas, baik secara intelektual maupun spiritual, untuk menangkap dan memahami pesan-pesan Tuhan. Sehingga, sampai pada poin ini, lalu dipahami bahwa pemahaman Muhammad atas wahyu yang diterimanya, al-Qur’an, adalah konstruksi yang paling ideal. Artikulasinya dalam tataran sikap, ucapan, dan tindakan—yang populer disebut Sunnah, oleh karena itu, adalah rujukan terbaik bagi Muslim dalam memahami/menafsirkan pesan-pesan ketuhanan yang tersurat dalam al-Qur’an.

Kemudian, dalam posisinya sebagai nabi terakhir, Muhammad dianggap sebagai pembawa kebenaran tertinggi dan paripurna. Ajaran-ajaran nabi sebelumnya, yang sejarahnya membentang semenjak era Nabi Nuh, dikoreksi (jika ada kekeliruan) dan disempurnakan oleh ajaran Muhammad. Karena mengoreksi, maka ajaran Muhammad dianggap yang paling benar di antara ajaran-ajaran sebelumnya. Karena menyempurnakan, maka ajaran Muhammad dianggap sebagai kebenaran tertinggi dan karenanya mengungguli kebenaran-kebenaran yang datang sebelumnya, sekaligus bersifat final dan karenanya menundukkan kebenaran-kebenaran yang datang sesudahnya. Apa yang dimaksud ajaran-ajaran Muhammad itu? Tentu saja, tidak lain, adalah al-Qur’an itu sendiri (pesan/kata-kata Tuhan yang “menyejarah” melalui dirinya) dan Sunnah, yakni segala sikap, kata-kata, dan tindakan Muhammad yang nota bene merupakan artikulasi dari pemahaman/penafsirannya atas al-Qur’an.

Atas dasar inilah, maka kemudian ada rumusan konvensional, bahwa sumber kebenaran Islami ada dua: al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Muhammad, bahwa dia meninggalkan kitab suci dan Sunnah untuk memberi petunjuk umat, agar tidak tersesat. Sebenarnyalah, kalau menggunakan dasar normatif yang agak rigid, sumber kebenaran Islami hanya satu saja: al-Qur’an. Kitab suci itu sendiri yang menegaskan secara blak-blakan, bahwa ia “hudan lin-nas”, petunjuk bagi manusia. Al-Qur’an tidak pernah menyebut secara persis bahwa Sunnah itu juga merupakan sumber kebenaran utama; sebaliknya, hanya eskplisit saja, misalnya bahwa Rasul/Nabi harus ditaati, bahwa taat kepada Rasul/Nabi sama halnya taat kepada Allah. Komposisi hirarkis tersebut (al-Qur’an dan Sunnah), kalau dicermati, sesungguhnya lebih didasari pada argumen dasar bahwa karena Muhammad adalah orang yang dianggap paling bisa memahami al-Qur’an, dan karenanya segala sikap dan tindakannya adalah penafsiran atas al-Qur’an, maka pemahaman/tafsir yang benar atas al-Qur’an haruslah merujuk pada Sunnah (Muhammad). Dalam artian, bahwa kita hanya bisa memahami/ menafsir al-Qur’an secara benar lewat Muhammad. Ini dengan kata lain, substansi dari formulasi “al-Qur’an dan Sunnah” sebenarnya satu: al-Qur’an, hanya saja dengan pengertian khusus, yakni al-Qur’an dengan pemahaman dan tafsir versi manusia pengucap pertamanya: Muhammad.

Ada pula yang memperlebar konsep Sunnah pada pemahaman dan praktik sahabat. Ini, barangkali, didasarkan pada sebuah asumsi logis, bahwa karena mereka hidup sezaman dengan Muhammad, maka secara otomatis pemahaman dan praktik keagamaan mereka di dalam sinaran dan asuhan Muhammad, sehingga wawasan dan tindak-tanduk mereka kurang-lebih sejalan, sebangun, dengan Muhammad. Apalagi, keyakinan ini didukung oleh sejumlah hadis/sabda Nabi yang meneguhkan otoritas sahabat, misalnya bahwa, “Ash-habi kan-nujum, bi-ayyihim iqtadaitum ihtadaitum” (sahabat-sahabatku itu laksana bintang-bintang [dan aku sang bulan], pada siapa pun kalian mengikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk). Pandangan ini banyak diadopsi oleh sejumlah kelompok Muslim yang menamakan diri sebagai kaum Salafi, karena mereka menisbatkan pemahaman keislaman mereka pada generasi Islam awal, generasi Salaf, yakni generasi Rasul dan para sahabatnya.

Yang menjadi pertanyaan pentingnya adalah, apakah Sunnah Nabi—termasuk juga sunnah sahabat—yang nota bene merupakan produk klasik belasan abad silam itu berlaku mutlak, universal, lintas waktu dan tempat, sehingga menempati kelayakan untuk tetap dirujuk di era sekarang dalam rangka memahami pesan-pesan Tuhan (al-Qur’an)?

Muhammad, sebagai nabi dan sebagai manusia
Dalam al-Qur’an berulang kali ditegaskan, bahwa nabi-nabi yang diutus Tuhan, siapa pun dia, adalah manusia lumrah seperti manusia pada galibnya. Mereka adalah manusia yang tidak berbeda dengan umat kepada siapa mereka diutus. Yang membedakan hanya satu saja: mereka (manusia nabi) menerima wahyu atau membawa pesan dari Tuhan. Kata “nabi” sendiri, secara etimologis berarti “orang yang membawa kabar”, artinya ia membawa kabar dari langit, membawa pesan atau risalah dari Tuhan yang mengutus mereka.

Begitupun Muhammad, ia manusia biasa sebagaimana orang-orang Quraisy pada galibnya. Ia makan dan minum, bekerja, berumahtangga, dll, seperti kelaziman manusia secara umum. Yang membedakan hanya satu, seperti nabi-nabi yang lain, bahwa Muhammad menerima wahyu. Kesosokan Muhammad ini terangkum secara gamblang dalam al-Qur’an, “…innama ana basyarun mitslukum yuha ilayya…” (aku [Muhammad] tidak lain adalah manusia sebagaimana kalian, [hanya saja] aku memperoleh wahyu…).
Sampai di poin ini, maka kita musti membagi peran dan fungsi Muhammad di dalam dua bagan: sebagai nabi/rasul (yuha ilaiyya) utusan Tuhan dan sebagai manusia biasa (basyarun mitslukum). Sangat tidak logis jika kita memutlakkan sekujur kata, sikap, dan tindakan Muhammad dalam ranah peran-fungsinya sebagai nabi/rasul, atau sebaliknya, sebagai manusia biasa an-sich. Betapa pun, ada kalanya dia memposisikan diri sebagai nabi/rasul, dan ada saat-saat di mana dia menempatkan diri sebagai manusia lumrah. Oleh karena itu, musti kita bedakan antara kata, sikap, dan tindakan Muhammad dalam kapasitasnya sebagai nabi dan dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa. Ini mengandung arti pula, harus kita bedakan, mana ajaran-ajaran Muhammad dalam posisinya sebagai nabi/rasul utusan Tuhan, dan mana ajaran-ajarannya dalam konteks dia sebagai manusia biasa.

Dalam posisinya sebagai nabi/rasul, apa yang diekspresikan atau diartikulasikan oleh Muhammad, baik itu berupa kata maupun tindakan, adalah benar, tiada keraguan sedikit pun di dalamnya. Menanggapi hal ini, kita sebagai umatnya hanya bisa bersikap “sami’na wa atha’na” (kami mendengar, dan kami taat), artinya mengamini, mengiyakan, serta meneladani apa yang telah dicontohkan Muhammad apa adanya, persis, plek, tidak mengurangi atau melebihi. Ini didasarkan pada suatu asumsi, bahwa sebagai nabi dan rasul tentunya dia telah memenuhi syarat shiddiq, artinya punya sikap moral benar dan jujur. Selain itu pula, dalam posisi ini, Muhammad itu memiliki sifat ma’shum, artinya terjaga dari salah dan keliru. Allah akan selalu membimbingnya, menjaganya dari interensi setan, pun dari kecenderungan pribadi Muhammad sendiri.
Bahkan jika ada satu dua yang tercecer, terabaikan, terlupakan, dari hal-ihwal (aturan, hukum, ajaran, dll) yang Dia tunjukkan kepada Muhammad,  Allah akan segera menggantinya, meluruskannya, dengan yang lebih baik (ma nan-sakh min ayatin an nun-siha na’ti nbikhairin minha au mits-liha).

Sebaliknya, dalam kapasitasnya sebagai manusia lumrah, apa yang diekspresikan oleh Muhammad, baik itu kata, sikap, dan tindakan, adalah bersifat relatif. Sebab, sebagai manusia lumrah (basyar mitslukum), Muhammad sangat terikat dengan kondisi psikologis, realitas sosial-budaya, geografis, ekonomi, politik, dsb, yang meliputinya semasa hidup di tanah Arab abad VII M. Relatif  atau nisbi, dalam arti bahwa sifat kebenarannya tidak mutlak (absolut), sehingga tidak menutup kemungkinan mengandung kekeliruan dan kekurangan—untuk tidak mengatakan kesalahan. Sebab, dalam posisi ini, apa yang dilakukan Muhammad tidak selalu dalam sinaran bimbingan ataupun arahan Tuhan yang Mahamutlak, dan karenanya dia mungkin lebih menggunakan kecenderungan atau ijtihad pribadinya, sesuai dengan tuntutan kondisi yang dia hadapi saat itu. Konsekuensinya, ketika diterapkan di lain tempat dan waktu (misal: Indonesia, abad 21), bisa sesuai dan bisa tidak. Sebab, logikanya, segala sesuatu jika dinyatakan bersifat relatif,  pastilah karena memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan itu tidak lain adalah bahwa tuntutan kemaslahatan antara zaman Muhammad abad VII M jelas beda dengan, misalnya, Indonesia abad 21 sekarang. Sikap terbaik kita ihwal ucapan, sikap, dan tindakan Muhammad dalam posisi ini setidaknya ada tiga: pertama, menakwil/menginterpretasikan ke konstruksi makna lain yang lebih kontekstual; kedua, menangkap substansi/spirit yang terkandung di balik realitas tekstual yang terkait (baca: hadis); atau ketiga, mengabaikan sama sekali dan berpaling ke ijtihad (penalaran pribadi) demi merumuskan suatu patokan etis yang lebih sesuai dengan tuntutan kemaslahatan sekarang, hal mana ini sejalan dengan rekomendasi Muhammad sendiri dalam kasus dakwah Mu’adz bin Jabal ke Yaman.

Al-Qur’an dan Tasyri’
Secara umum, kenabian selalu terkait dengan kewahyuan. Yang petama disebut nubuwwah, yang kedua disebut tanzil. Kewahyuan (tanzil) tidak mungkin mewujud tanpa adanya kenabian, dan sebaliknya, kenabian tidak sempurna dan otoritatif tanpa adanya kewahyuan. Ini berarti, seseorang kurang memiliki legitimasi sebagai nabi/rasul Allah sampai dia—dan ini merupakan salah satu syarat utamanya—menerima wahyu. Sampai di poin inilah, hemat saya, kita menemukan ruang untuk memosisikan Muhammad dalam kapasitasnya sebagai nabi, yakni, pertama,  ketika dia sedang menyampaikan/ mewartakan al-Qur’an. Apa yang dia artikulasikan, utamanya dalam wujud kata-kata (kalam)—yang tak lain adalah al-Qur’an itu, adalah benar mutlak, tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Qur’an yang dia sampaikan, kata demi kata, adalah dari Allah, yang turun (tanzil) melalui Jibril. Al-Qur’an menegaskan bahwa setan tidak bisa mengintervensi kewahyuan. Begitu juga, Muhammad tidak bisa mencampurkan kecenderungannya sendiri pada wahyu (wama yanthiqu ‘an al-hawa in huwa illa wahyun yuha).

Selain kewahyuan, kenabian (nubuwwah) secara umum juga terkait dengan spiritualitas (hablun min Allah). Nabi-nabi sebelum Muhammad, baik yang menerima kitab suci atau tidak, baik yang diutus untuk kaum tertentu atau seluruh umat, dalam sejarahnya selalu mengajarkan wawasan-wawasan spiritual. Oleh karena itulah, kedua, kita kembali menempatkan Muhammad dalam posisinya sebagai nabi/rasul Tuhan ketika dia menyatakan, menerangkan, dan mencontohkan tasyri’ atau ajaran-ajaran Islam yang bercorak spiritual, persisnya ajaran-ajaran yang terkait dengan haqqul-Lah ‘alal ‘abid (hak Tuhan kepada hamba-Nya), seperti ubudiyyah (ritual), akidah, keimanan, eskatologi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah ucapan, sikap, dan tindakan Muhammad (yang lazim disebut Sunnah) menyangkut spiritualitas ini merupakan tafsir, penjelasan (bayan), kelengkapan, ataukah implementasi teknis dari konsep spiritualitas yang sudah tersurat dalam al-Qur’an (tetapi masih bersifat umum, mujmal). Intinya satu, bahwa dalam posisi ini, ucapan, sikap, dan praktik Muhammad bersifat mutlak benar. Sebab, logikanya, karena ini (baca: hal ihwal spiritualitas) menyangkut “kepentingan Tuhan” (haqqul-Lah ‘alal ‘abid), maka sudah pasti implementasi atau pun artikulasinya oleh Muhammad dibawah kontrol ketat dari Tuhan, baik secara langsung (melalui inspirasi ilahiah, ilham, suara hati) atau tidak langsung (Jibril). Sebagai contohnya dalam hal ini adalah salat. Al-Qur’an hanya memerintahkan, tetapi tidak menerangkan kaifiyyah-nya. Muhammad lalu menjelaskan dan memberikan contoh, hal mana praktik salat beliau bersifat mutlak dan universal. Yang penting dicatat, ihwal salat ini, Muhammad tidak mengkreasi sendiri, tetapi terlebih dulu dibimbing oleh Jibril.

Selain tasyri’ bercorak spiritual, Muhammad, dan nabi-manusia pada umumnya, juga mengajarkan tasyri’ non-spiritual, yakni ajaran-ajaran apa pun yang di luar ‘ubudiyyah (ritual), akidah, keimanan, eskatologi, dan sejenisnya. Tasyri’  jenis ini tidak lain adalah apa-apa yang diajarkan Muhammad terkait dengan bagaimana mengatur kepentingan publik dalam konteks hidup bermasyarakat, baik dalam bidang hukum, politik, sosial-budaya, ekonomi, dan dunia sosial lainnya. Galibnya, ranah ini disebut dengan muamalat, yakni dimensi ajaran Islam yang menyangkut hubungan antar manusia di dunia sosial. Di sinilah kita memposisikan Muhammad dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa (basyarun mitslukum), yang berpotensi keliru dan kurang tepat. Ajaran-ajaran Muhammad dalam dimensi non-spiritual atau muamalat ini, baik ucapan, sikap, ataupun praktik, yang galib disebut Sunnah itu, adalah bersifat nisbi dan relatif, sama saja baik itu merupakan penafsiran, penjelasan, ataupun impelementasi teknis dari konsep-konsep muamalat (non-spiritual) yang tersurat al-Qur’an, atau ijtihad (kreasi) Muhammad sendiri dalam menanggapi masalah-masalah sosial yang dihadapi umat kala itu. Dikatakan relatif, karena dalam posisi ini, Muhammad tak ubahnya seorang mufassir (interpreter)—atas al-Qur’an, Sunnah-nya adalah tafsir. Tetapi, sebagai sebuah tafsir, ia sangat terkait dengan kapasitas yang dimiliki Muhammad. Selain mufassir, bisa juga disebut mujtahid, dan Sunnah-nya adalah ijtihad yang diperuntukkan bagi tuntutan-tuntutan kemaslahatan kala itu yang bersifat khas, ketika tidak ditemukan petunjuk yang terang dalam al-Qur’an.

Sebagai Mufassir dan sebagai Mujtahid
Dalam konteks ini, sikap kita dibagi menjadi dua: pertama, jika produk tafsirnya (Sunnah) atas nash-nash dalam al-Qur’an itu dalam sekala tertentu tidak kompatibel dengan realitas kekinian, maka kita bisa mengabaikan produk tafsir Muhammad itu, dan beralih pada tafsir baru yang lebih realistik dalam konteks dunia sekarang. Persisnya, kita bisa merumuskan tafsir al-Qur’an yang berbeda. Kedua, jika produk ijtihad Muhammad (baca: Sunnah) itu dalam kurun waktu atau tempat tertentu tidak bisa memenuhi tuntutan kemaslahatan yang ada, maka umat, melalui representasi kaum cendekiawan (ulama), bisa mengkreasikan ijtihad yang baru dan lebih kontekstual. Ini berarti, Sunnah (baik itu terkait tafsir Qur’anik atau lainnya) tidak musti selalu terkait dengan, atau merujuk pada, Muhammad, tetapi bisa juga umatnya. Hanya saja, yang musti dicatat, bahwa dalam kerangka tafsir atau ijtihad baru tadi, konstruksi/perumusannya tetap harus berada dalam sinaran kemaslahatan Islami yang mencakup perlindungan atas lima kepentingan manusia, sebagaimana diintrodusir oleh al-Ghazali dalam kitabnya, al-Mustashfa, yakni: jiwa, harta benda, keturunan, agama, dan akal. Juga penting ditekankan prinsip deliberasi, agar sunnah-sunnah baru itu sejalan dengan kepentingan umat secara umum, bukan kelompok tertentu, apalagi orang per orang. Wallahu a’lam.[]   

Tidak ada komentar: